Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ciliwung dari Mata Air ke Mata Air

Kompas.com - 17/01/2009, 06:19 WIB

Para pedagang Belanda, sekitar seabad kemudian, menyusul datang untuk pertama kalinya ke Sunda Kalapa. ”Pedagang Belanda menyatakan kekagumannya dan mengatakan pelabuhan di muara Ciliwung ini amat baik. Airnya lebih dalam dibandingkan Sungai Banten sehingga memungkinkan Ciliwung dilayari ke arah hulu sampai sejauh beberapa kilometer,” kata Hasan.

Dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, jumlah penduduk yang bermukim dan berusaha di sepanjang tepian Ciliwung terus tumbuh dan berkembang. Kini, daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya tampaknya sudah melampaui ambang batas. Ciliwung tak sanggup lagi menampung sampah yang setiap hari dalam jumlah berton-ton dibuang ke sana oleh jutaan warga Bogor, Depok, dan Jakarta.

”Dulu manusia memilih kawasan di sekitar Ciliwung untuk tempat tinggal dan mengembangkan budaya. Tingginya tingkat ketergantungan manusia pada sungai kala itu menyebabkan Ciliwung dihargai dan dijaga kelestariannya,” kata Dr Restu Gunawan, MHum, ahli sejarah banjir Jakarta yang juga staf Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun, lanjutnya, sekarang orang berkumpul tinggal di bantarannya tidak lagi dengan alasan membutuhkan air dan aliran Ciliwung, tetapi lebih karena kawasan itu dianggap sebagai bagian dari dataran yang mudah dicapai dan relatif murah. Okupasi lahan bahkan sampai ke badan sungai yang dipastikan bakal dibanjiri air kala sungai meluap pada musim hujan.

Restu mengatakan, ditilik dari sejarahnya, ada fakta dan pemahaman yang terbalik terhadap keberadaan Ciliwung. Sayangnya, apa yang terjadi saat ini diikuti dengan pembiaran terhadap sungai purba itu. Jalan airnya, tempat parkir air kala meluap, dan pepohonan di hulu serta sepanjang bantaran sungai dibabat atas nama kebutuhan manusia yang terus meningkat.

Ciliwung bukan manusia, ia tak bisa marah, tetapi hanya bisa mengalir apa adanya. Semakin banyak bangunan penghalang alirannya, banjir makin kerap terjadi dan meluas.

Kekerasan terhadap Ciliwung terus berlangsung dalam 40 tahun terakhir. Industri tumbuh subur di sepanjang tepian Ciliwung dan sejumlah percabangannya. Di banyak tempat, air sungai itu bahkan tak layak lagi dipakai untuk mandi. Air Ciliwung telah tercemar limbah berat. Kini yang tersisa paling hanya ikan sapu-sapu.

Perubahan perilaku

Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, usaha untuk mengatasi banjir secara sistematis dan konsepsional di Jakarta sudah dilakukan sejak hampir seabad lalu. Tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membangun Pintu Air Manggarai dan Banjir Kanal Barat (BKB). BKB adalah sungai besar buatan untuk mengalihkan sebagian air Ciliwung ke arah sisi paling barat Jakarta.

Sejumlah kanal, sodetan, dan pintu air lain juga dibangun. Tujuannya sama, menyelamatkan kawasan pusat kota, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang sekarang menjadi Istana Merdeka, dari ancaman banjir.

Pemerintah kini giat membangun Banjir Kanal Timur (BKT) yang dapat menampung sebagian air Ciliwung sebelum menggelontorkannya ke laut di ujung timur Teluk Jakarta. ”Namun, upaya ini bakal sia-sia jika tak diiringi perubahan perilaku masyarakat, termasuk pemerintah dengan kebijakannya, warga di sepanjang bantaran, dan masyarakat umum dengan sampahnya,” kata Pitoyo Subandrio.

Ciliwung, tak bisa dibantah, telah beralih peran dari sumber kehidupan menjadi sumber bencana. Kini saatnya, jangan ditunda lagi, melestarikan Ciliwung dengan mengubah perilaku kembali bersahabat dengan sungai. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com