Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyambung Mimpi yang Terputus

Kompas.com - 17/03/2009, 02:03 WIB

Oleh: Dharmadi

Dikencangkan putaran gas di genggaman telapak tangannya. Bajaj meraung, menjerit berteriak, dirasanya tak juga mau berlari cepat seperti yang jadi kehendak. Sesekali dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya; ”Mudah-mudahan waktu dapat terkejar, tak terlambat”, kata-katanya  keluar perlahan dari mulutnya.

Dibawanya bajaj menyusup di antara sela-sela rangkaian kendaraan lainnya yang berjalan bak ular yang sedang melata, panjangnya seperti tak ada putusnya, agar segera dapat sampai di masjid tempat kebiasaannya menjalankan sholat Jumat.

“Alhamdulillah akhirnya sampai juga,”  begitu ucapnya setelah sampai tujuan; ”Tapi agak jauh parkirnya, ndak apalah, terlambat sedikit, tapi kan dapat rejeki; kalau penumpang tadi tak kuangkut, ya tambahan rejeki hilang,” ia berkata sendiri; ”Tak seperti biasanya, nampaknya hari ini Tuhan memang sedang memberi rejeki lebih, mungkin tahu saat ini aku butuh uang yang banyak,” sambil menghitung-hitung secara kasar dalam angan, penghasilan yang telah didapat.
”Lumayan, separuh hari sudah bisa bawa uang seratus ribu bersih, tak biasanya,” senyum mekar di bibirnya, mekar kuntum harapan di hatinya.

Bajaj diparkir dekat perempatan jalan, berjarak sekitar limapuluh meter dari masjid.  Biasanya, ia bisa memarkir sekitar sepuluh meter dekat masjid.

Dengan langkah yang agak dipercepat, ia menuju ke kamar kecil sebelah tempat wudhu. Didengarnya khotbah baru saja dimulai.

Ia dapat tempat agak ke belakang, sekitar sepuluh sof dari mimbar. Biasanya ia memilih tempat agak di depan, sekitar dua tiga sof dari mimbar. Ia  salami jamaah di kiri kanan begitu selesai menjalankan sholat sunah.
***
Suara lantang khotib yang kadang-kadang keras menghentak, sering menjadikan ia tergeragap dari kantuknya.

Dalam kantuknya, sepotong-sepotong ia menangkap isi khotbah yang disampaikan khotib si; tentang Israel yang agresor, perlunya dibangun rasa solidaritas di kalangan umat Islam di Indonesia untuk membantu sesama muslim di Palestina dengan pengumpulan dana, perlunya digelorakan terus anti Amerika Serikat yang adigang adigung adiguna, yang kumawasa, merasa paling kuasa dan paling kuat sendiri di dunia. Perlu dilawan imperalisme-kapitalisme.   
***
Beberapa kali ditutup mulutnya dengan telapak tangannya, agar tak kelihatan ketika menguap. Khotib menyudahi khotbah. Ia berdiri bersama-sama jamaah lainnya, sesekali menengok ke kiri ke kanan untuk mengetahui apakah berdirinya sudah lurus dengan sofnya.

Setelah dirasakannya lurus dengan sof, dengan pelan dan khidmat diangkatnya tangan sambil mengucapkan Allahu Akbar dan kemudian didekapkan ke dada; berusaha ditahannya kantuk, berusaha disimaknya dengan khidmat surat-surat yang dilantunkan imam.

“Alhamdulillah,” ucapnya, begitu selesai diucapkannya salam sambil menyeka mukanya dengan kedua telapak tangannya. Disalaminya jamaah yang duduk di sekitarnya; yang di depan, di kiri kanan, dan di belakangnya; selalu menyentuhkan telapak tangannya ke dada setiap habis bersalaman.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com