Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Wakatobi dari Laut

Kompas.com - 05/06/2009, 03:56 WIB

Aktivitas wisatawan ke masa mendatang diprediksikan berorientasi ke laut: wisata bahari. Hal itu disebabkan obyek wisata di darat identik dengan kehancuran. Indonesia memiliki ekosistem dan alam laut yang tak kalah menarik dan memiliki daya jual yang tinggi jika dikelola secara profesional. Karena itu, pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil harus berbasis masyarakat.

Tetapi, sebagian pulau-pulau dengan ekosistem laut dan daratan yang indah, unik, dan menarik sudah digarap bahkan dijual ke pihak asing. Masyarakat pun ”gigit jari”, bahkan aksesnya menangkap ikan semakin terbatas.

Tak aneh bila kemudian, di banyak tempat, aktivitas pengeboman ikan oleh nelayan semakin sering terjadi sehingga berdampak pada kerusakan terumbu karang. Di Wakatobi, perilaku semacam itu sudah terjadi.

Persoalan lain yang mesti diatasi adalah mengamankan taman nasional yang kaya keanekaragaman hayati dan bernilai ekonomi sangat tinggi. Pencurian karang laut dan penjarahan ikan bisa jadi ancaman serius jika armada laut untuk pengamanan wilayah perairan Wakatobi tak memadai.

Laode Hajifu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, mengatakan bahwa jenis ikan napoleon (Cheilunus undulatus) merupakan sasaran pencurian di wilayah Taman Nasional Wakatobi. Ikan ini merupakan salah satu ikan yang sangat dilindungi dan dilarang perdagangannya saat ini oleh International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

”Harganya yang sangat mahal tentu cukup menggiurkan. Untuk memelihara Taman Nasional Wakatobi ini perlu melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat,” kata Laode.

Riza Damanik (Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan perikanan) dalam diskusi panel Pariwisata Bahari yang digelar Kompas bekerja sama dengan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan mengingatkan pengembangan potensi bahari meski juga berpihak pada nasib nelayan. Seperti di Wakatobi, disebutkan nelayan tidak bisa lagi secara adat menangkap ikan mengelilingi kawasan Wakatobi.

”Karena wilayah yang dibolehkan menangkap ikan itu-itu saja, hasil tangkapan ikan stagnan, tidak menggembirakan. Lalu, pilihan masyarakat adalah mengebom ikan,” ujar Damanik.

La Ode Ali, guru SD yang peduli pada budaya, mengatakan bahwa pengembangan pariwisata Wakatobi jangan mengabaikan kekayaan seni budaya yang dimiliki masyarakat. Geliat pemeliharaan tradisi warisan nenek moyang mesti bisa sejalan dengan tumbuhnya pariwisata Wakatobi yang perlahan-lahan mulai ditingkatkan.

”Bukan cuma untuk melestarikan budaya, tetapi generasi muda bisa punya bekal untuk hidup dengan memanfaatkan seni budaya warisan leluhur, di tengah maraknya perkembangan pariwisata Wakatobi nantinya,” ujar La Ode Ali.

Yang penting, geliat wisata bahari yang tumbuh itu tidak memarjinalkan masyarakat, terutama wong cilik. Tetesan madu dari surga bawah laut Wakatobi seharusnya dikembalikan pada tujuan untuk memajukan pulau dan masyarakat secara bersama-sama. (ELN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com