Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Menyindir

Kompas.com - 20/10/2009, 11:35 WIB

Saya disindir karena perbuatan saya tak senonoh. Saya sebagai manusia dipersenjatai dengan otak yang bisa membuat yang tak senonoh menjadi beberapa nonoh. Saya ingat masa memasuki dunia remaja, membaca buku stensilan dan film biru kemudian menjadi kolektor. Dari sana otak saya berkembang ke segala arah.

Sekarang, apa yang saya tonton masa remaja terjadi di depan mata. Dari yang biasa sampai luar biasa. Kemudian saya tanya teman saya mengapa melakukan hal-hal itu, mereka menjawab ringan, ”Enak gila….”

”On and Off”

Enak gilalah yang membuat manusia membiarkan otaknya berpikir kemudian melatih membungkam nurani. Tak hanya soal seks, tetapi juga membunuh, meracuni tubuh, korupsi, cari muka, menjilat dalam segala cara dan bentuk. Apalagi enak gila itu dijadikan nasihat atau bentuk a helping hand bagi mereka yang butuh pertolongan melupakan sakit hati dan atau sakit segalanya dengan cepat, tanpa harus bertele-tele kelamaan.

Saya dengan otak saya bisa memanipulasi sedemikian rupa dan mengatakan hasil manipulasi bukan manipulasi, tetapi rasionalisasi. Kemudian setelah bisa masuk di rasio, tentu diterima dilanjutkan dengan kelihatan masuk akal, dan berakhir menjadi tak apa-apa alias kebiasaan.

Dan ketika sudah menjadi kebiasaan, kalau disindir, reaksinya hanya: pertama, marah; kedua, bisa jadi bebal karena sudah terbiasa, tak merasa lagi salahnya. Malah bisa menjadi bumerang dan mengatakan yang menyindirlah yang salah.

Manusia dengan akalnya suka curang. Kalau yang enak dirasionalkan dan diterima, yang enggak enak seperti membuktikan api itu panas tak mau membakar diri. Mereka bisa mengatakan, ”Gila apa. Goblok bener.”

Tetapi kalau korupsi, berselingkuh, menyogok dan menyodok, sudah tahu salah, bukan tempatnya tetapi dirasionalkan dengan kalimat macam ini. Manusia itu penuh kelemahan dan kecurangan, maka itu ndak apa-apa. Itu sangat manusiawi. Apalagi ada tambahan komentar, ”Enak, gila….”

Setelah saya menyaksikan tayangan penuh sindiran itu saya bertanya kepada diri sendiri. Saya ini mau menjadi manusia yang membiarkan otaknya berpikir tanpa nurani, atau dengan nurani, atau hanya kadang-kadang saja dengan nurani. Kalau saya sampai disindir, siapa pun itu, sejujurnya saya harus berterima kasih ketimbang naik pitam.

Mereka yang menyindir berada di luar kehidupan saya, pasti mereka lebih bisa melihat secara obyektif saya sudah membutuhkan pertolongan. Karena sindiran mereka itu adalah bukti nurani saya lagi off. Saya baru tahu on and off bukan cuma istilah mematikan dan menghidupkan lampu, ternyata bisa untuk nurani juga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com