Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Tertib, "Please"!

Kompas.com - 26/10/2009, 15:06 WIB

Tak lama kemudian ada yang terjun dari darat ke dalam kolam menyilang di belakang saya. Pokoknya kalau Anda pernah ngudek teh hangat di sore hari, yaaa… kira-kira seperti itulah keadaan kolam pada hari Minggu nan cerah dan panas seperti kompor itu.

Saya memutuskan berhenti karena tak bisa berolahraga dengan benar. Saya cuma mikir, yang waras yang ngalah. Dalam perjalanan dari kolam renang sampai ke pintu apartemen saya mulai berpikir, apakah benar manusia sekarang semakin tak punya nurani, tak peduli, egois? Yang penting aku, aku, dan aku. Apakah nilai-nilai toleransi itu juga mulai menipis? Apakah mereka tak bisa lagi melihat bedanya kolam renang pribadi dan milik umum, antara melakukan kegiatan di ranah publik dan di ranah pribadi?

Apakah mereka juga tahu, tetapi pura-pura tak tahu. Apakah mungkin mereka memiliki filosofi hidup macam begini. Kalau bisa nyusahin orang, mengapa harus membahagiakan? Mungkin sama seperti teman saya yang punya filosofi dalam menata rumah. Kalau bisa maksimalis dan ribet, kenapa mesti minimalis dan enggak ribet?

Di tengah kemacetan

Kemudian saya ingat dua hari sebelum hari naas di kolam renang itu, bersama teman saya terjebak macet. Saya ingat itu hari Jumat sore sepulang kerja, saat gempa terjadi. Jalan sudah macet padat merayap saja susah. Kami memutuskan untuk mencari jalan tikus meski jalan tikusnya saja sudah penuh sesak. Semua mobil mengantre dengan tertib karena jalannya sempit. Namanya juga jalan tikus, bukan?

Tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam menyelak langsung di depan sehingga posisinya membuat jalan sempit itu makin runyam, karena meski sempit jalan tikus itu merupakan jalan dua arah.

Gara-gara ia menyelak, semuanya jadi berantakan. Mau maju tak bisa, mundur pun tak bisa. Saya jengkel sekali. Secara emosional saya langsung memencet klakson mobil teman saya itu untuk mewakili suara saya yang ingin sekali menjerit dan mengomeli si pengendara mobil itu. Padahal, sedan hitam itu bukan menyelak saya, tetapi dua mobil di depan saya.

Mobil yang diselak itu yaa… diam saja, merasa tak apa-apa. Saya sampai kagum sekaligus jengkel, kok diselak diam saja. Saya ingin sekali saat itu mendatangi pengendara mobil itu dan bertanya, mengapa ia melakukan itu? Bukan soal menyelaknya, tetapi ulah cuma satu orang, tetapi membuat semua orang jadi repot.

Karena jalan menjadi mampet dan saya tak bisa melakukan kegiatan lain karena tak bawa laptop dan tak punya BB, yaa… saya duduk diam jengkel dan merenung. Mengapa manusia itu bisa begitu egoisnya? Apakah menjadi tertib begitu susahnya?

Kalau susah, mengapa kalau sedang berada di negara tetangga macam Singapura, manusia yang tak bisa tertib di Jakarta itu bisa tertib tiba-tiba, meski hanya untuk sekian hari atau selama akhir pekan? Semua kan juga mau pulang, semua orang kan juga enggak mau berlama-lama di jalan, mengapa susah sekali untuk tidak membuat orang lain susah? Kan jalan rayanya milik umum. Kalau milik umum, yaaa... enggak bisa seenaknya sendiri, bukan?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com