Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Tertib, "Please"!

Kompas.com - 26/10/2009, 15:06 WIB

Mengapa susah sekali berpikir menyenangkan orang lain. Nah, kalau sudah begini, nurani saya mulai turut berkicau dan dengan mudah ia melontarkan pertanyaan yang sama kepada saya. Saya tak menjawab. Nurani saya berteriak, ”Lo tahu enggak, Jeng, situasi yang sekarang lo hadapin itu upah dari apa yang lo tabur. Kalau dulu lo pernah begitu egoisnya dan orang lain sengsara karenanya dan lo enggak inget atau pura-pura enggak inget, nah… sekarang lo rasa.”

Saya kaget setengah mati. Ya, ya, ya… benar adanya. Saya marah karena orang begitu egoisnya, begitu tak sabarnya. Saya lupa saya juga pernah melakukan itu. Sekarang kalau saya terjerat dalam situasi menjengkelkan semacam dua kejadian di atas, saya sedang diberi pelajaran ada harga yang selalu harus dibayar dari sebuah perbuatan. Mau itu masa lampau, maupun masa sekarang. Bentuk pembayarannya bermacam cara sesuai apa yang pernah saya tabur. Di kolam renang dan atau di jalan raya.

Nurani saya masih belum puas dan tampaknya tak pernah puas. ”Kalau lo selalu omong mau jadi orang sabar, jadi orang pemaaf, yaaah…. monggo, situasi ini dinikmati saja. Menjadi mulia itu perlu dibentuk dari hal-hal sulit, bukan yang mudah saja. Makanya Neng, kalau omong atau minta sesuatu itu dipikir dulu masak-masak. Jangan asal nyeplos….”

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

 

KILAS PARODI

Makdarit (Maka Dari Itu)...

1. Sadari Anda dan saya hidup di dunia bukan untuk menyenangkan hati Anda, tetapi menyenangkan Sang Khalik. Jadi, obyektif menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk Sang Pencipta, bukan untuk udel Anda dan saya. Sama sekali tidak. Saya kok percaya, wujud Sang Khalik itu yaaa… ada dalam wujud bernama sesama manusia. Jadi, kalau Anda dan saya kurang ajar dengan sesama, Anda sedang kurang ajar sama Sang Pencipta. Kok berani?

2. Saya mulai berpikir mengapa yaaaa… jam kebaktian di rumah ibadah saya ada macam-macam. Ada jadwal jam enam pagi, delapan, sepuluh, lima sore, dan tujuh malam. Saya bertanya kepada diri sendiri, jadwal itu dibuat karena banyak yang mencintai Sang Khalik atau dibuat berdasarkan kesibukan manusianya? Supaya saya bisa arisan dulu pada pagi hari, baru sore hari menghadap Sang Khalik.

Jadi, jadwal dibuat untuk menyesuaikan kebutuhan supaya saya bisa senang, bukan dibuat supaya Sang Khalik yang senang. Saya mikir, bagaimana kalau jadwal hanya dibuat sekali saja. Jam empat pagi. Nanti kan kelihatan siapa yang mencintai dirinya sendiri dan yang benar mencintai Sang Khalik.

3. Saudara-saudariku yang tercinta, kalau mengerjakan sesuatu, mau menyetir mobil kek, mau mengantre, bekerja sebagai tukang pos, menyetir kopaja, bajaj, sepeda motor, masuk ke dalam atau keluar dari lift, memarkir mobil, cobalah berpikir aktivitas itu Anda lakukan untuk Tuhan. Jadi, kalau cara pandangnya demikian, tak ada pengendara sepeda motor yang sudah nyelak eh….. pasang muka kejam pula, menggertak terlebih dahulu.

Kalau Anda menggertak sesama, ingat sesama itu adalah ciptaan Tuhan. Kok berani menggertak hasil ciptaan Sang Pencipta? Apalagi menggertak dalam keadaan bersalah. Anda bukan pemenang, Anda justru pecundang. Anda tahu pecundang itu apa? Seseorang yang tak berani mengakui dirinya salah.

4. Latih. Sekali lagi saya sarankan, latih diri Anda mencintai Sang Khalik. Kok saya ini percaya Anda dan saya bisa mencintai Sang Pencipta sedemikian rupa, butir satu sampai tiga, bisa Anda lakukan dengan ringan hati. Mencintai itu perlu latihan. Makanya orang kalau berhenti mencintai, kemungkinan besar karena juga berhenti berlatih untuk mencintai dan mungkin kelelahan dalam latihan itu. Setelah mengambil waktu istirahat dari latihan eh… lupa melanjutkan. (Samuel Mulia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com