Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: "Hanya" soal Tempat Duduk

Kompas.com - 10/11/2009, 17:17 WIB

Oleh Samuel Mulia

Saya dan tiga teman berkumpul di sebuah rumah makan. Hari menunjukkan pukul satu siang. Ketika semua orang bekerja, kami bersendau gurau. Dulu waktu masih bekerja, paling suka mengambil cuti di hari kerja. Pergi ke Bandung hanya untuk makan siang, saat teman-teman bekerja. Dan ketika ada telepon masuk menanyakan keberadaan saya, saya menjelaskan yang mengundang jawaban: ”Enak benuer sih….”

Maka, keadaan enak benuer sih itu masih terus berlangsung. Percakapan antara teman begitu mengasyikkan, sambil menikmati risoles dengan salmon dan teh hangat rasa chamomile. Kalau sudah ngobrol-ngobrol seperti ini, kadang emosi juga turut naik turun, maka teh yang katanya memiliki efek menenangkan itu patut diseruput sebelum emosi jebol. Dua jam pun begitu cepat berlalu. Beda rasanya kalau di ruang rapat, apalagi bersama klien yang gampang menabur janji surga dan gampang juga mengingkarinya.

Menjerit

Kami mengobrol soal macam-macam, salah satu di antaranya mengenai persoalan sepele: penentuan tempat duduk di sebuah acara. Kalau saya katakan sepele, itu buat saya karena memang terbiasa disepelekan orang. Sudah berjuang untuk tidak disepelekan, tetap saja ada yang menyepelekan. Itu risiko menjadi manusia biasa. Biasa disepelekan, maksudnya. Maka, mungkin banyak orang berusaha menjadi manusia luar biasa.

Pembicaraan makin mengasyikkan karena mendengar cerita soal pribadi-pribadi kondang dan yang tidak kondang, tetapi berusaha kondang, dan kok ya kebetulan kaya raya, yang menjerit-jerit di pesta karena masalah tempat duduk yang tidak berkenan di hati mereka. Tepatnya merasa tidak sesuai dengan status sosial mereka.

Alasan mereka berteriak macam-macam. Ada yang menjerit karena tergeser pesaingnya kemudian menjadikan panitia acara kambing hitam. Manusia yang merasa tergeser tak berani menghadapi yang menggeser.

Ada yang menjerit karena kok kaya dan kondang tak duduk bersama tuan rumah yang sama kaya dan sama kondangnya. Ada yang menjerit karena berusaha duduk dengan pejabat dan duta besar, tetapi harapan pupus karena status sosial belum mencukupi untuk berdekatan dengan petinggi.

Ada yang naik pitam karena merasa sama kayanya, sama kondangnya, sama status sosialnya, kok didudukkan dalam satu meja. Mereka tidak bermusuhan, tetapi tak saling menyukai. Keduanya berteriak, ”Saya enggak mau duduk sama manusia itu.”

Cerita-cerita semacam itu membuat saya jadi turut emosi. Terutama mendengar yang menjerit itu katanya manusia berpendidikan tinggi, yang acap berkoar-koar agar rendah hati di hadapan Tuhan, tetapi tetap mau jadi orang nomor satu. Padahal, saya diajari kalau mau ikut Tuhan mesti punya perilaku seperti jongos.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com