Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Terpesona di Depan Kabah...

Kompas.com - 26/11/2009, 04:06 WIB

Oleh Subhan SD

Junaidi (50) terpesona memandangi Kabah, Jumat (20/11). Barangkali lebih dari sejam, matanya tak beralih dari bangunan kubus yang dibangun Nabi Ibrahim itu. Ia tak peduli dengan panas matahari yang pagi itu mulai menyengat kulit tubuh.

Saya benar-benar tidak menyangka bisa melihat Kabah dari dekat. Saya menangis kepada Allah,” kata anggota jemaah haji kelompok terbang (kloter) 59 embarkasi Solo, Jawa Tengah, itu.

Pria asal Desa Cokroyasan, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, itu tak mampu mengungkapkan isi hatinya. Kepergiannya ke Tanah Suci hampir-hampir tak ia percayai.

Perasaan seperti itu sesungguhnya bukan milik Junaidi saja. Sejumlah kaum Muslim dari Indonesia yang menunaikan ibadah haji juga merasakan suasana batin tak terduga, bahkan termasuk mereka yang telah berulang kali menunaikan ibadah haji.

Bukan saja pengalaman spiritual yang dirasakan saat melakukan tawaf mengelilingi Kabah, sai antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, melempar jumrah dan mabit di Mina, tetapi rasa tak percaya yang mendalam bahwa mereka bisa beribadah haji yang membutuhkan tenaga, mental, dan keuangan yang tidaklah ringan.

”Kalau melihat usaha (kehidupan pribadi), saya tidak menyangka sama sekali bisa berhaji. Tetapi, kalau sudah terpanggil, rasanya tak ada halangan apa pun. Melihat Kabah, saya merasa sangat puas,” kata pria yang berangkat ke Tanah Suci berbekal uang Rp 300.000 di dompet itu.

Angan-angan untuk pergi haji dalam diri Junaidi muncul lebih dari 20 tahun silam. Rasa ingin pergi haji terpicu oleh pernyataan seorang mahasiswa yang kuliah kerja nyata di desanya. Mahasiswa asal Nusa Tenggara Barat itu heran, mengapa di desa Junaidi sedikit sekali warga yang pergi haji. ”Mahasiswa itu bilang, di desanya justru sedikit orang yang bukan haji,” kata Junaidi mengenang peristiwa tahun 1980-an itu.

Namun, Junaidi sadar betul, dengan pekerjaannya sebagai petani, bukan perkara mudah mewujudkan angan-angannya itu. Dari hasil panen padi di lahan sawah miliknya seluas 1.600 meter persegi, ia mendapatkan hasil bersih Rp 1,5 juta. Dalam setahun, ia panen dua kali. Pada kuartal ketiga, meski hasilnya tak signifikan, ia menanam palawija. Itu artinya, dalam setahun, penghasilannya sebulan kurang dari Rp 350.000.

Sebetulnya Junaidi masih punya penghasilan lain, yaitu mengajar mengaji siswa sekolah dasar. Ia berpartisipasi dalam Program Anak Beriman di SDN Cokroyasan. Dalam seminggu, ia mengajar mengaji dua kali, masing-masing selama satu jam. Tetapi, honornya pun kecil. ”Honor mengaji Rp 65.000 per bulan,” kata jebolan sarjana muda di IKIP Muhammadiyah Purworejo yang terjun ke sawah setelah gagal tes guru itu.

Karena penghasilan tak mencukupi, istrinya, Oneng, ikut berjualan sayur dan mengajar di taman bermain (play group). Dengan penghasilan pas-pasan, Junaidi berkeras hati untuk menyisihkan penghasilannya untuk biaya pergi haji. Ia tak tahu berapa lama cita-cita itu tercapai, tetapi ia sudah mulai menyisihkan penghasilannya sejak 20 tahun silam.

Kalahkan kesenangan

Rasa tak percaya juga dikemukakan Adis Idi (52), petani pemilik lahan sawah 7.000 meter persegi di Desa Kemiri, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten. Buat Adis, pergi haji juga tak terbayangkan.

”Saya sebenarnya tidak tahu bisa pergi haji. Tetapi, istri saya yang menyiapkan uang simpanan untuk haji. Selama ini saya tidak tahu istri saya punya simpanan uang,” kata anggota jemaah kloter 43 Banten itu.

Keinginan yang kuat untuk melakukan perjalanan rohani itu mengalahkan kesenangan duniawi yang sudah diangankan oleh pasangan suami-istri itu. ”Tadinya uang simpanan itu mau dibelikan mobil,” katanya. Akan tetapi, akhirnya mereka sepakat untuk membayarkan biaya penyelenggaraan ibadah haji sekitar Juni 2007.

Pergi haji memang tidak melulu diukur dengan harta kekayaan. Malah tidak sedikit orang yang memiliki banyak harta tak lantas tergerak hatinya. Faktor kesiapan dan keseriusan hati boleh jadi merupakan modal penting untuk memenuhi panggilan Allah.

Misalnya saja, dua kakak-beradik Suaeb (70-an) dan Nasir (60-an), asal Mauk, Tangerang, tetap prima walau tubuh mereka ringkih dimakan usia. Keduanya mampu berjalan kiloan meter walau tanpa alas kaki di panas jalan aspal di Mekkah. Percaya atau tidak, mereka yang terpanggil memiliki kekuatan yang tak terduga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com