Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prita, Kakao dan Semangka: Tiga Meditasi

Kompas.com - 09/12/2009, 00:19 WIB

Sementara Minah dengan tiga kakaonya, Basar dan Kholil dengan semangkanya, sama-sama mendongkel suara hati publik dengan mengajukan pertanyaan, "Mengapa engkau tak mengajukan protes? Mengapa diam saja? Engkau mengira di dunia ini kita bisa hidup tanpa unjuk gigi? Engkau kira di dunia ini kita bersikap begitu bebal dan tegar tengkuk?" Ini meditasi pertama yang menggelegar ketika menjejak kasus keempat anak manusia.

Tidak perlu bersegera menjawab pertanyaan menukik di relung sanubari suara hati. Di seberang sana masih ada meditasi kedua dengan meminjam kata "saya" yang lebih personal, lebih pribadi. Bukankah suara hati memiliki ciri personal? Bukankah suara hati kerapkali disebut sebagai suara Yang Ilahi, seperti pernah dinyatakan oleh filsuf John Henry Newman.

Ini meditasi kedua, "Saya ikuti dia dengan pandangan mata saya. Saya pun berpikir, alangkah mudahnya menjadi orang kuat di dunia ini. Alangkah rentannya menjadi jelata di tengah dunia yang relatif sulit mengucapkan terima kasih kepada sesama."

Bukankah suara hati dalam bahasa Latin disebut sebagai "consscientia", berasal dari akar kata "conscire", yang berarti "mengetahui bersama" dan "turut mengetahui". Suara hati menjadi saksi sekaligus hakim yang menjatuhkan penilaian dan putusan atas segala perbuatan.

Meditasi ketiga, apa persamaan tubuh dan mesin? "Tubuh dan mesin akan tampak serupa. Kesamaan tubuh dan mesin terjadi, jika tubuh meniru mesin. Dengan demikian, kepatuhan berarti pertama-tama menggerakkan tubuh sesuai perintah dan prosedur," tulis F. Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas.

Yang aduhai, di awal jaman modern, filsuf Rene Descartes memandang tubuh sebagai "l homme machine", suatu mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani.

Hardiman menulis, bukan hanya "punishment" melainkan "reward" dapat mempercepat metamorfosis tubuh. Rasa sakit dan kenikmatan adalah dua macam kode bagi tubuh untuk segera patuh, yakni meniru skema-skema njlimetnya komando dan ketatnya disiplin.

Tiga meditasi menyentuh sejumlah sosok ketika menyambangi teknologi kepatuhan dalam PritaGate, CocoaGate dan SemangkaGate. Seorang kakek bernama Mundala (65), datang kemudian menyerahkan kotak merah berisi uang recehan ke Posko Koin untuk Prita di Jalan Taman Margasatwa Nomor 60, sekitar pukul 10.00, Senin (7/12). Kumpulan uang receh ini berasal dari komunitas pemulung di Srengseng Sawah.

Tak kuasa membendung linangan air matanya, ia mengaku turut prihatin dengan kasus yang menimpa Prita. “Mereka (rekan-rekan pemulung) sedih, demi keadilan, mereka berusaha mengumpulkan uang Rp 50, Rp 500,” ujar Mundala sambil menangis saat menyerahkan uang itu, sebagaimana ditulis dalam laman Kompas. “Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya lagi.

Tiga meditasi juga menyentuh suara hati ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH yang menyidangkan Nenek Minah. Ia terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com