Menurut Patra, tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa dalam kasus Antasari bukan untuk menegakkan hukum, melainkan pembalasan dendam. ”Model penghukuman yang bersifat retributif (pembalasan) sudah selayaknya ditinggalkan,” katanya lagi.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Arief Hidayat berpendapat, penerapan penuntutan maksimal terhadap terdakwa pembunuhan Nasrudin menunjukkan jaksa dalam tekanan publik. ”Tekanan publik itu muncul karena perkara ini tidak hanya semata kasus kriminal, tetapi juga sarat politik,” tuturnya.
Selain itu, tuntutan hukuman mati itu bukti jika jaksa sampai saat ini masih berkeyakinan kasus Nasrudin adalah pembunuhan berencana. ”Jaksa yakin fakta tindak pidana dalam pembunuhan berencana terbukti. Itu baru keyakinan jaksa. Tentunya pandangan dan pembelaan penasihat hukum dan terdakwa juga akan membuktikan sebaliknya,” papar Arief lagi.
Arief Hidayat menyatakan, situasi tekanan publik yang begitu besar terhadap perkara ini menyebabkan jaksa terbebani secara psikologis.
”Kalau kasus pembunuhan itu menyangkut terdakwa yang tak terkenal, tentu mudah diproses secara normatif. Proses hukum Antasari dan kawan-kawan adalah kasus khusus dalam sejarah hukum kita,” ucap Arief.
Jaksa Agung Hendarman Supandji menolak memberikan komentar terkait pro-kontra atas tuntutan itu.