Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dicari, Presiden yang Memahami UUD 1945

Kompas.com - 20/09/2010, 14:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Maraknya insiden terhadap kebebasan beragama di Indonesia dengan mengacu pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 membuat UUD 1945 tak lagi dihayati pelaksanaannya. UUD 1945 harus menjadi pedoman dalam memahami kebebasan beragama di Indonesia.

"Pada waktu itu ada demo di Mabes Polri, ada spanduk bertuliskan 'Dicari Presiden yang Memahami UUD 1945', dan itu memang benar," ucap Jacobus Mayong Padang, aktivis Pembela Kebebasan Beragama dan Keutuhan Republik Indonesia, dalam dialog terbuka "Mengapa PBM Harus Dicabut?", Senin (20/9/2010) di Jakarta.

Menurut Jacobus, UUD 1945 adalah dasar dari pengaturan kebebasan beragama di Indonesia, di mana di dalamnya negara menjamin setiap warga negara memeluk dan beribadah menurut keyakinannya. Sedangkan PBM sendiri hanyalah keputusan internal kementerian yang tingkatnya jauh di bawah UUD 1945, bahkan PBM tersebut tidak ada dalam struktur perundang-undangan.

"Kalau Soekarno dulu mengatakan, kamu yang Muslim adalah kamu orang Indonesia yang Muslim, dan kamu yang Kristen adalah kamu orang Indonesia yang Kristen. Jadi, jangan yang Muslim datang ke Indonesia atau yang Kristen datang ke Indonesia. Artinya, keindonesiaan itulah yang menjadi dasar, bukan agamanya," terangnya.

UUD 1945 harus dipegang sebagai acuan dalam mengatur kebebasan beragama karena kebebasan beragama tersebut dijamin oleh Pemerintah Indonesia.

"Kita sudah dijamin UUD 1945, tapi peraturan di bawahnya tidak sesuai dengan UUD 1945. Mengapa masyarakat yang atur orang beribadah, bukannya pemerintah sendiri?" ungkap Pendeta Shephard Supit, Ketua Umum Himpunan Warga Gereja Indonesia (HGI), dalam kesempatan yang sama.

Shephard menjelaskan, Surat Keputusan Bersama No 1/1969 Pasal 4 Ayat 3 sangat kabur dan multitafsir, yang mengatakan bahwa apabila dianggap perlu, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.

Namun, kenyataannya SKB tersebut diganti dengan PBM No 8 dan 9 Tahun 2006 yang justru lebih keliru serta mengabaikan hak asasi dan hak sipil masyarakat.

"Memang sekarang (PBM) lebih rinci, kelihatan lebih baik, lebih tegas, tapi lebih keliru," ujarnya.

Shephard mengatakan, pengaturan perizinan rumah ibadah dengan menetapkan 90 orang dari pengguna rumah ibadah dan 60 orang dari masyarakat setempat berpotensi menciptakan konflik kaum minoritas.

"Bisa saja dalam satu daerah suatu agama tidak terwakili ataupun kalau ada, ketika tidak sepakat dan harus ada voting, maka yang 'hak minoritas' pasti terabaikan. Harus kembali ke UUD 1945," katanya tegas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

    KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

    Nasional
    Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

    Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

    Nasional
    Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

    Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

    Nasional
    Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

    Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apapun

    Nasional
    Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

    Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

    Nasional
    Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

    Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

    Nasional
    PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

    PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

    Nasional
    Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

    Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

    Nasional
    Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

    Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

    Nasional
    Ikut Kabinet atau Oposisi?

    Ikut Kabinet atau Oposisi?

    Nasional
    Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

    Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

    Nasional
    Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

    Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

    Nasional
    Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

    Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

    Nasional
    Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

    Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

    Nasional
    PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

    PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com