Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Catatan buat Bang Foke

Kompas.com - 06/10/2010, 07:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Oktober ini genap tiga tahun Fauzi Bowo menjabat Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah program pembenahan dan pembangunan ibu kota negara telah dijalankan.

Namun, ada beberapa catatan mendasar atas kinerja Bang Foke—panggilan akrab Fauzi Bowo—selama tiga tahun, yakni soal ekspektasi warga Jakarta yang belum sepenuhnya terpenuhi. Ekspektasi itu adalah penanganan kemacetan, ketersediaan transportasi massal yang memadai, pengendalian banjir, dan pasokan air bersih yang tercukupi bagi masyarakat.

Demikian kesimpulan dari diskusi kecil Kompas bersama Deputi Gubernur DKI Bidang Tata Ruang Ahmad Hariadi, Asisten Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Reswan W Soewardjo, Asisten Sekretaris Daerah DKI Bidang Perekonomian Hasan Basri, Kepala Bidang Informasi Publik Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Cucu Ahmad Kurnia, pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, dan pengajar Teknik Lingkungan Universitas Indonesia Firdaus Ali di Jakarta, Selasa (5/10/2010).

Yayat mengatakan, realisasi program pembangunan yang ada saat ini belum mencerminkan Gubernur bisa memberikan garansi kepada warganya bahwa pelbagai masalah mampu diatasi. Ada tiga faktor yang menjadi akar masalah dari roda pembangunan Jakarta yang terkesan jalan di tempat.

Ketiga faktor itu adalah urbanisasi tak terkendali, dualisme sistem birokrasi, dan kapasitas kelembagaan atau sumber daya manusia yang tidak memadai.

”Lonjakan jumlah penduduk Ibu Kota, yang resmi terdaftar ataupun tidak, sulit diprediksi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penduduk DKI pada 2020 mencapai 11 juta orang, padahal faktanya sekarang saja yang beraktivitas di Jakarta sudah 9-10 juta orang,” kata Yayat.

Tentu saja, lanjut Yayat, kota dituntut memenuhi kebutuhan semua orang yang beraktivitas di dalamnya. Tidak bisa hanya bersandar pada hitungan penduduk resmi alias warga berkartu tanda penduduk DKI. Bagaimana mungkin penataan transportasi massal, pembenahan permukiman, hingga antisipasi banjir bisa optimal ketika dasar data kependudukannya saja tidak valid. Terjepit

”Namun, harus diakui, posisi Jakarta terjepit. Masalah pengelolaan sungai atau infrastruktur jalan saja tidak semua yang masuk dalam wilayah DKI adalah tanggung jawab pemerintah daerah. Semua wewenang terbagi dengan pemerintah pusat,” kata Firdaus.

Menurut Firdaus, Jakarta adalah daerah khusus yang tidak pernah menikmati kekhususannya. Untuk menata Sungai Ciliwung atau ruas Jalan Cawang hingga Grogol saja, Jakarta harus berbenturan kebijakan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan banyak instansi lain di tingkat pusat. Sementara pemerintah pusat juga banyak lepas tangan, tidak mendukung penuh upaya DKI menata kotanya.

Padahal, tambah Firdaus, dengan label Daerah Khusus Ibu Kota, Gubernur DKI memiliki posisi tawar tinggi untuk menekan pemerintah pusat segera turut andil menyelesaikan masalah yang ada. Di lain pihak, gubernur harus bisa meyakinkan pemerintah pusat dan warganya bahwa ia beserta jajarannya mampu bekerja baik. Indikatornya adalah pencapaian target pembangunan per periode waktu tertentu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com