Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontrak Mati Seorang Masinis

Kompas.com - 06/10/2010, 09:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Sama sekali tak pernah terbayang bagi Banudin (49), warga Desa Surakarta, Kecamatan Suranenggala, Cirebon, Jawa Barat, untuk menjadi seorang masinis kereta api (KA).

Tanggung jawab yang berat dengan gaji yang sangat minim merupakan gambaran utuh seorang masinis yang dia ketahui sejak dulu. Dan, kenyataan itu kini dia hadapi ketika menjadi masinis KA unit Cirebon.

Setelah delapan tahun menggeluti profesi masinis dan melewati banyak kenangan manis dan pahit, Banudin akhirnya sangat mencintai pekerjaannya itu.

Setelah lulus STM pada usia 19 tahun, anak petani asal Cirebon itu hanya berpikir bisa segera bekerja guna membantu orangtuanya.

"Saya melamar ke PJKA (nama PT KA waktu itu) dan ternyata diterima. Saat itu status kami adalah PNS biasa," ujar Banudin, Selasa (5/10/2010). Kala itu dia tengah bersantai di Mes Masinis di Griya Flamboyan Dipo Lok Jatinegara yang lokasinya tak jauh dari Stasiun KA Jatinegara, Jakarta Timur.

Sebagai anak petani, kata Banudin, kala itu dia sangat bangga bisa diterima bekerja di Dipo KA di Cirebon. "Waktu itu saya tidak melihat gaji. Saya hanya ikutin panggilan jiwa," ujar anak kedelapan dari sepuluh bersaudara ini.

Banudin menjadi pegawai PJKA pada 1981. Sampai saat ini telah 29 tahun dia mengabdi di perusahaan jasa transportasi darat ini. Sebagai masinis dengan golongan 11 D, dia mendapat gaji plus tunjangan sekitar Rp 3,3 juta per bulan. Uang inilah yang dia andalkan untuk menghidupi istri dan empat anaknya.

Banudin sadar betul kebutuhan keluarga tak tercukupi jika hanya mengandalkan pendapatan sebagai masinis. Karena itu, dia menyewa sawah di kampungnya yang kemudian dia gunakan untuk menanam padi.

"Saya membayar orang-orang untuk menggarap, menanam, membajak, dan memupuknya. Awalnya hanya kembali modal. Tapi sekarang, alhamdulillah, lumayan," ujarnya.

Menurut Banudin, kecintaannya terhadap sawah dan pertanianlah yang menggiringnya berani bertaruh dengan semua uang tabungannya untuk menyewa 1 hektar sawah.

"Setiap panen dan ada untung, uangnya saya pakai untuk sewa lahan sawah dan untuk biaya produksi padi lagi. Akhirnya bertambah terus dan sekarang bisa menggarap 5 hektar sawah," katanya.

Dari hasil usaha sampingannya itu, yang mampu menghasilkan Rp 50 juta per tahun, Banudin bisa menyekolahkan tiga dari empat anaknya ke perguruan tinggi.

Anak pertamanya, Eka Maulana Yusuf, lulus akademi keperawatan dan bekerja di RS Pertamina, Cirebon. Anak keduanya, Eko Suprayogi (23), pada Januari 2011 akan menjadi sarjana hukum. Anak ketiganya, Meli Purwaningsih, kini masih duduk di semester enam. Adapun anak bungsunya, Berta Oktaviani, masih SD.

Awal 2016, dia akan pensiun. Banudin mengaku sebagai "kelelawar" yang beruntung karena memiliki penghasilan sampingan. Disebut kelelawar karena masinis sering berada di lokomotif malam hari, seperti kelelawar yang mencari makan di malam buta.

Asisten masinis

Pada awal kariernya, selama lima tahun dia menggeluti dunia lokomotif di Dipo Stasiun KA Cirebon. Tugasnya merawat, memperbaiki, dan menyiapkan lokomotif sebelum dibawa oleh masinis.

Sekitar tahun 1990, dia mengikuti pendidikan calon masinis di Yogyakarta. Setelah lulus, dia diangkat menjadi asisten masinis pada 1997. Pada 2002 dia menjadi masinis.

"Saat menjadi asisten masinis, saya sudah jarang pulang. Karena sistem estafet, maka harus menginap di mes seperti ini untuk istirahat agar bisa membawa kereta lagi besoknya," katanya. (Budi Sam Law Malau)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com