Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi, Bekerja Cermatlah

Kompas.com - 24/01/2012, 20:59 WIB
Windoro Adi

Penulis

KOMPAS.com — Kasus Apriyani Susanti (29) yang mengendarai Daihatsu Xenia B 2479 XI dan menabrak 12 pejalan kaki di trotoar Jalan MI Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (22/1/2012), pukul 11.15, meninggalkan sejumlah pertanyaan dan teka-teki.     

Sembilan nyawa melayang sia-sia dan tiga lainnya terluka akibat kejadian itu.

Penjelasan yang disampaikan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto dan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Nugroho Aji Wijayanto, Senin (23/1/2012), menyebutkan, kasus yang menewaskan sembilan orang ini berawal dari Hotel Borobudur, Sabtu (21/1/2012), pukul 20.00.

Di tempat itu, Apriyani dan keempat temannya menghadiri pesta ulang tahun kawan mereka. Pukul 22.00 mereka pergi ke salah satu kafe di Kemang, Jakarta Selatan. Di sana mereka menikmati minuman beralkohol.

Pada Minggu pukul 02.00, mereka memutuskan ke Diskotek Stadium di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat.

Saat ke Stadium, mereka sepakat berangkat dengan satu mobil. Mobil lain tetap diparkir di kafe. Di Stadium, keempatnya membeli dan mengonsumsi dua butir ekstasi, masing-masing mendapat setengah butir. Salah seorang di antara mereka mengonsumsi ganja. Di diskotek itu mereka kembali minum minuman beralkohol.

Pada Minggu pukul 10.00, Apriyani dan kawan-kawan meninggalkan Stadium, kembali ke salah satu kafe di Kemang untuk mengambil mobil. Saat melintas ke Jalan MI Ridwan Rais dengan kecepatan 100 kilometer per jam itu terjadilah peristiwa maut itu.

Membingungkan

Yang membuat publik bingung, satu saat Nugroho kepada wartawan mengatakan, mereka pergi ke Hotel Borobudur untuk menghadiri pesta pernikahan. Namun, pada saat lain ia mengatakan, mereka menghadiri pesta ulang tahun teman.     

Polisi menyebutkan, Apriyani dan kawan-kawan pada pukul 10.00 meninggalkan Stadium menuju Kemang. Pertanyaannya, mengapa mereka memilih melewati Jalan MI Ridwan Rais? Bukankah ada jalur yang lebih singkat, lebih lega, dan lebih lancar? Jalur tersebut dari Stadium ke Harmoni, lurus, kemudian belok kanan, masuk Jalan Medan Merdeka Barat.     

Lalu, lurus lagi, masuk Jalan Thamrin, berlanjut ke Jalan Jenderal Sudirman, melintas di bawah Jembatan Semanggi, lurus masuk Jalan Sisingamangaraja.

Dari jalan itu, banyak jalan alternatif menuju kawasan Kemang. Hari itu bukan hari bebas kendaraan (car free day).

Tentang mobil yang dikendarai Apriyani, Rikwanto mengatakan, ”Tersangka Apriyani tidak bisa menunjukkan STNK dan surat-surat kendaraan lainnya. Istilah umumnya mobil ’bodong’.”

Benarkah mobil ”bodong”? Bagaimana dengan informasi tentang pajak kendaraan bermotor yang diterbitkan http://samsat-pkb.jakarta.go.id/INFO_PKB/INFO_PKB ?

Informasi menyebutkan bahwa mobil itu dibuat tahun 2005, bukan tahun 2010 seperti disebutkan Rikwanto.

Hari Selasa (24/1) polisi mengoreksi, mobil tersebut milik warga Cipinang Melayu, Jakarta Timur.    

Narkoba     

Menyinggung soal Apriyani dan ketiga kawannya, polisi awalnya mengatakan, berdasarkan hasil uji urine Rumah Sakit Polri RS Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, keempatnya tak terbukti mengonsumsi narkoba.

Tak berapa lama pernyataan itu dikoreksi. Menurut polisi, keempatnya terbukti mengonsumsi sabu, minuman beralkohol, dan ganja. Penjelasan mengonsumsi sabu, kemudian dikoreksi menjadi mengonsumsi ekstasi. Polisi kemudian menduga, saat kejadian tindakan sembrono Apriyani lebih banyak dipengaruhi oleh minuman beralkohol. 

Apa kata Joice Djaelani Gordon tentang hal ini? Joice adalah psikolog pada Pusat Rehabilitasi Pecandu Narkoba, Yayasan Permata Hati Kita, Bogor, Jawa Barat. Ia bekerja sebagai psikolog bagi para pencandu narkoba yang sedang dalam pemulihan sejak 1997.

Joice meragukan keterangan polisi bahwa Apriyani lebih banyak dipengaruhi minuman beralkohol. Ia juga tidak yakin Apriyani mengonsumsi ekstasi dan menduga Apriyani mengonsumsi sabu.     

Alasannya, Apriyani tidak menunjukkan perilaku agresif setelah kejadian. Perilaku agresif banyak ditunjukkan mereka yang mengonsumsi minuman beralkohol. Sebaliknya, sikap lebih waspada dan tenang bisa ditunjukkan mereka yang mengonsumsi sabu atau ekstasi.

Menurut Joice, saat seseorang mengonsumsi minuman beralkohol dan ekstasi, hasilnya netral. ”Minuman beralkohol itu depresan yang membuat jantung berdetak lebih lamban. Sebaliknya, ekstasi itu merangsang jantung berdegup lebih cepat. Kalau dikonsumsi bersamaan, terjadi efek saling menetralisir. Efek ekstasi nge-drop, sedang efek minuman keras pun melemah,” ungkapnya.

Berbeda jika seseorang mengonsumsi minuman beralkohol dan sabu. Minuman beralkohol akan memperbesar dampak mengonsumsi sabu.

”Dampak mengonsumsi minuman beralkohol dengan sabu jauh lebih fatal ketimbang dampak mengonsumsi minuman keras dengan ekstasi,” kata  Joice yang mengikuti kasus mobil Xenia ini sejak awal pemberitaan.

Menurut dia, baik ekstasi maupun sabu mengandung unsur methamphetamine atau metamfetamina, atau metilamfetamina atau desoksiefedrin yang di Indonesia dikenal dengan istilah sabu. Methamphetamine adalah obat  psikostimulansia dan simpatomimetik yang dikonsumsi untuk menanggulangi gangguan hiperaktif dan perasaan kurang perhatian.

Ekstasi maupun sabu sama-sama mengandung unsur methamphetamine, tetapi dosis methamphetamine pada sabu lebih tinggi. Itu sebabnya pengguna ekstasi tidak mencandu, sedangkan pengonsumsi sabu mudah menjadi pencandu.

Sepanjang pengalamannya bekerja di pusat rehabilitasi, pengonsumsi ekstasi yang sampai dirawat sangat jarang. ”Satu banding seribu pasien rawat inap,” ujarnya.

Namun, jumlah pencandu sabu yang dirawat inap di pusat rehabilitasinya kini terbanyak setelah heroin.

”Ekstasi itu jadi pintu pertama seseorang mengonsumsi sabu, heroin, kokain, atau jenis narkoba lainnya yang membuat pemakainya mencandu,” paparnya.  

Dehidrasi

Joice mengatakan, dalam kasus mobil Xenia, pengemudi diduga mengalami dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena methamphetamine memacu pembakaran dalam tubuh di atas normal sehingga tubuh membutuhkan lebih banyak air. Gudang energi yang tersimpan dalam tubuh, antara lain di lemak, otot, dan lever, tersedot oleh proses pembakaran ini.

Hal itu membuat otak kehilangan banyak cairan sehingga tak mampu memberi sinyal atau perintah agar yang bersangkutan minum air mineral lebih banyak untuk mengimbangi meningginya pembakaran dalam tubuh akibat mengonsumsi methamphetamine.

”Karena otak mengalami dehidrasi, maka yang bersangkutan lamban merespons peristiwa atau perubahan lingkungan. Mekanisme reflek tubuh merosot drastis. Ia membutuhkan waktu berpikir lebih lama, sementara peristiwa sudah berlalu,” tutur Joice.

Itulah yang diduga dialami Apriyani. ”Jadi berdasarkan pengalaman saya melayani para pencandu narkoba, saya menduga Apriyani dan ketiga kawannya mengonsumsi sabu dan minuman beralkohol,” ucap Joice.

Kalau soal efek ganja dalam kasus ini, lanjutnya, kurang berarti.     

Menurut pengamatan, sabu umumnya dikonsumsi di kamar hotel, apartemen, rumah kos, kontrakan, atau rumah-rumah pribadi. Setelah mulai bereaksi, para pengguna baru melanjutkan petualangannya ke tempat-tempat hiburan malam, terutama diskotek.

Itu berbeda dengan para pengguna ekstasi. Ia cukup datang  ke tempat hiburan malam dan mengonsumsi ekstasi di tempat itu.     

Diselamatkan

Pengamat polisi dari Kajian Ilmu Kepolisian UI yang juga Guru Besar Sosiologi Hukum UI, Prof Bambang Widodo Umar, menduga ada satu hotel dan tempat hiburan malam yang harus ”diselamatkan” sehingga tidak disentuh publik.

”Ini namanya bukan diskresi, tetapi penyalahgunaan wewenang polisi. Polisi tidak boleh melakukannya. Apalagi di belakang kisah ini ada sembilan orang yang tewas,” tuturnya.

Itu sebabnya muncul kisah tentang keempat orang yang mengonsumsi minuman beralkohol dan ekstasi dan bukan kisah tentang orang-orang yang mengonsumsi minuman beralkohol dan sabu.

Benarkah? ”Saya menduga demikian. Kalau dugaan ini tidak benar, polisi harus menjelaskan dengan alasan yang kuat,” ujarnya.

Bambang Widodo Umar mengingatkan polisi agar melakukan pendekatan keilmuan untuk mengungkap kasus selain harus sesuai dengan prosedur standar operasional.

”Hanya dengan langkah tersebut polisi bisa mempertanggungjawabkan profesinya,” ucap Bambang. (WINDORO ADI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com