Sekretaris Dinas Pajak DKI Jakarta Djuli Zulkarnaen menjelaskan, penundaan pemungutan pajak bagi kantin, kafetaria, dan warung makan beromzet Rp 550.000 per hari ini melihat aspek golongan konsumen.
”Warung, kantin, dan kafetaria sangat dibutuhkan orang-orang yang kurang mampu. Karena itu, kami sudah lakukan sosialisasi internal mengenai penundaan pungutan pajak ini,” kata Djuli.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi menjelaskan, Perda No 11/2011 tidak secara spesifik mengatur masalah pajak warteg, tetapi hanya mengatur pajak restoran sebesar 10 persen dari omzet penjualan.
Restoran yang dimaksud dalam perda ini adalah fasilitas penyedia makanan atau minuman dengan dipungut bayaran, termasuk rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya, juga jasa boga dan katering.
Kesepakatan ini dicapai dari hasil pembahasan Badan Legislasi Daerah DPRD DKI dan rapat kerja Komisi C DPRD DKI bersama pihak eksekutif dan koperasi warteg pada tahun 2011.
Nilai tersebut naik tiga kali lipat dari rancangan perda pajak restoran yang menetapkan batas tidak kena pajak omzet kurang dari Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau Rp 167.000 per hari.
Nilainya juga lebih tinggi tujuh kali lipat dari Perda No 8/2003 yang menetapkan omzet kurang dari Rp 30 juta per tahun atau Rp 2,5 juta per bulan atau Rp 83.000 per hari.