Bambang Wuryanto mencatat, argumentasi harga BBM mendekati harga keekonomian, yaitu harga yang terbentuk oleh keseimbangan permintaan dan penawaran, dimulai saat krisis 1998 sesuai dengan saran Dana Moneter Internasional (IMF).
Pri Agung Rakhmanto sepakat harga BBM sesuai dengan harga keekonomian. Ia mengartikan harga BBM murah tidak melalui angka nominal, melainkan secara relatif. Artinya, ketika daya beli masyarakat sudah baik, tidak masalah membeli bensin Rp 9.000 per liter, misalnya. Karena daya beli masyarakat belum cukup, menaikkan harga BBM bersubsidi tetap jadi soal.
Penolakan terhadap kenaikan harga BBM lebih karena argumentasinya salah. Jika pemerintah mengatakan hasil menaikkan BBM akan dipakai untuk mengelola infrastruktur transportasi publik, orang pasti menerima.
Maka, yang penting sekarang adalah bagaimana mengomunikasikan pengurangan subsidi dengan menaikkan harga BBM itu. Inilah tanggung jawab pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama.