Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi mengatakan, pihaknya masih menyelidiki penyerangan ini. Seorang polisi juga menjadi korban pemukulan gerombolan ini di Jalan Pangeran Jayakarta.
Kelompok terlatih
Kriminolog Universitas Indonesia, Prof Adrianus Meliala dan Prof Mustofa, yang dihubungi terpisah, menduga, serangan gerombolan bermotor itu tidak dilakukan oleh geng motor, tetapi oleh sekelompok orang terlatih.
Peristiwa itu, kata Adrianus, menunjukkan para pelaku sudah mengabaikan kemampuan dan kewibawaan negara dalam menegakkan hukum. Di sisi lain, ada kesan para penegak hukum memberi ruang balas dendam dan membiarkan para pelaku melakukan pengadilan jalanan.
”Saat terjadi pengeroyokan yang menyebabkan seorang kelasi Angkatan Laut tewas, polisi seharusnya sudah menghitung kemungkinan tindakan balas dendam dan menyiapkan antisipasinya,” ujar Adrianus.
Ia mendesak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya menyatakan mengecam kejadian itu dan akan menuntaskan kasus tersebut tanpa pandang bulu. ”Pernyataan seperti itu penting sebagai isyarat agar jajaran polisi di lapangan bekerja serius,” ungkapnya.
Mustofa berpendapat, di luar kelompok penggemar sepeda motor tua, geng motor yang ada di Indonesia umumnya berkelompok dalam satu merek sepeda motor. Padahal, gerombolan penyerang menggunakan dua merek sepeda motor.
Melihat polanya, kelompok ini bisa dari anggota atau mantan anggota TNI, polisi, atau kelompok satuan tugas organisasi massa. ”Mereka merancang serangan dengan matang dan tahu kapan wilayah target kosong dari polisi,” ujar Mustofa.
Identifikasi profil
Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, untuk menangani kasus geng motor, perlu identifikasi jelas profil, tujuan, dan motif mereka. ”Secara sepintas, profil mereka adalah anak-anak muda yang baru berproses, memiliki banyak energi, visi masih longgar, dan menghendaki identitas. Menjadi persoalan karena mereka masuk ke dalam identitas grup yang salah,” ujarnya.