Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta yang Macet, Jakarta Kita

Kompas.com - 19/06/2012, 03:55 WIB

Wartawan dan kontributor tetap untuk ”Los Angeles Times” dan CNNGo, Jordan Rane, menyebut Jakarta sebagai salah satu kota paling tidak disukai turis. Dalam artikel ”World’s 10 Most Hated Cities” di www.cnngo. com, Jakarta masuk dalam peringkat ke-7.

selain Jakarta, beberapa kota, di antaranya Lima (Peru), New Delhi (India), Paris (Perancis), juga Sydney dan Melbourne (Australia), termasuk di dalamnya. Rane menuliskan, Jakarta merupakan kota yang berkutat dengan kemacetan, polusi udara, dan kemiskinan.

Kondisi di Jakarta mau tak mau jadi salah satu faktor yang berperan terhadap angka kedatangan turis. Jangankan turis, warga Jakarta pun merasa tidak nyaman dengan aneka persoalan perkotaan, terutama transportasi dan kemacetan lalu lintas.

Oki Andrian (20) menganggap kemacetan lalu lintas dan banjir di Jakarta merupakan persoalan terbesar. Bagaimana tidak, sehari-hari mahasiswa semester enam Jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta ini berada di jalan.

Karena rumahnya di kawasan Tangerang, Oki berangkat dari rumah ke kampus minimal dua jam sebelum jadwal kuliah. Lama perjalanan makin tak bisa diprediksi pada musim hujan. Ketika hujan deras dan banjir, kemacetan dipastikan semakin parah. ”Makanya enggak mungkin berangkat mepet, pasti telat,” kata Oki.

Berdasarkan pengalaman, biasanya kemacetan terparah jika kita berangkat dari rumah pukul 07.00. Rupanya pada jam itu banyak orang yang berangkat dari rumah menuju sekolah, kampus, dan tempat kerja.

”Jalan benar-benar sesak karena jumlah kendaraan makin banyak tapi jalannya enggak nambah, itu-itu aja,” ujar Oki yang menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi.

Ia bisa menumpang kendaraan umum ke kampus. Namun, kondisi tak memungkinkan. Dengan motor saja, ia perlu waktu dua jam sebelum waktu perkuliahan. Jika menggunakan kendaraan umum, artinya ia harus meluangkan waktu lebih lama. Ini tak efisien. ”Masalahnya angkutan umum itu semrawut, waktunya juga enggak pasti, belum lagi kalau ngetem, he-he-he,” tuturnya.

Ia berharap persoalan transportasi segera diatasi. Misalnya dengan membatasi jumlah kendaraan agar seimbang dengan kondisi jalan. ”Kalau enggak, ya seperti sekarang, sikut-sikutan di jalan, semua orang pengin sampai tujuan tepat waktu.”

Hilang toleransi

Hal senada dilontarkan Ghea Apriliana (21). Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Peminatan Penyiaran Universitas Paramadina, Jakarta, ini menganggap kondisi di jalan menyebabkan orang kehilangan toleransi terhadap sesama pengguna jalan.

Pengendara motor kerap menjadi egois. Selalu ada yang berusaha mendahului kendaraan lain dengan berbagai cara, termasuk ke trotoar. Hak pejalan kaki pun terampas karena trotoar digunakan seenaknya.

Pengemudi mobil pun kerap seenaknya. Ghea berkali-kali melihat antarpengemudi saling salip. ”Lalu lintas padat, mereka seenaknya pindah jalur,” katanya.

Persoalan lalu lintas tak bisa dibiarkan. Kemacetan yang makin parah membuat warga menghabiskan banyak waktu di jalan. ”Ini ganggu banget kalau lama perjalanan normal 45 menit, tapi terpaksa kita tempuh dalam dua jam karena macet.”

Sehari-hari Ghea naik angkutan umum dari rumahnya di Kalimalang, Bekasi, ke kampusnya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Seperti Oki, ia menyediakan waktu dua jam perjalanan dari rumah ke kampus.

Pengurangan jumlah kendaraan bisa dengan cara membatasi usia kendaraan, termasuk angkutan umum. ”Kalau kendaraannya bersih dan bisa ditertibkan, warga pasti mau naik angkutan umum,” ujarnya.

Sementara Muhammad Firosuddin (21) melihat Jakarta sebagai kota yang lekat dengan banjir, selain kemacetan lalu lintas. Kondisi ini terjadi karena kontribusi warga Jakarta pula. Mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Paramadina, Jakarta, ini menganggap kondisi di Jakarta terkait regulasi yang lemah.

Keterbatasan fasilitas dan pertumbuhan kendaraan yang tak seimbang memperparah kemacetan. ”Regulasi di Jakarta tidak tegas,” ujarnya.

Sebagai pengendara motor, meski terjebak kemacetan, dia mengaku tetap mengikuti rambu-rambu lalu lintas. ”Saya enggak naik ke trotoar, itu kan tempatnya pejalan kaki,” tuturnya bersungguh-sungguh.

Menjadi mitra

Berkaitan dengan ulang tahun Jakarta ke-485, Firosuddin berharap pemerintah tak memosisikan mahasiswa sebagai lawan, tetapi mitra. Ia mengusulkan pemerintah mau mewadahi mahasiswa di semua kampus dalam satu komunitas.

”Misalnya, mahasiswa direkrut untuk terlibat dalam mengatasi persoalan-persoalan perkotaan,” ujar Firosuddin.

Sosiolog dan pengajar Universitas Indonesia, Raphaella Dewantari Dwianto, melihat kalangan muda memiliki kepedulian. Mereka merasa memiliki Jakarta. ”Ini bagus, mahasiswa itu aset berharga, pemerintah jangan menganggap mereka sekadar tukang kritik,” tuturnya.

Aneka opini seputar Jakarta mereka kemukakan seperti keadaan sesungguhnya. Menurut Raphaella, kondisi di Jakarta, salah satunya, disebabkan minimnya sistem dan konsistensi pemerintah kota sebagai pembuat sistem.

”Sejak kira-kira 20 tahun lalu, sistem transportasi yang komprehensif dan terintegrasi belum ada, semua masih bersifat parsial,” kata dia.

Raphaella menganggap transjakarta merupakan langkah awal yang cukup baik. Keberadaannya bisa diintegrasikan dengan angkutan lain. Sayang, sampai kini masih bersifat trial and error.

”Sampai sekarang, Jakarta belum mempunyai transportasi massal. Biarpun ada transjakarta, tetapi dalam implementasinya ada inkonsistensi,” ungkapnya.

Sebagai contoh, jalur untuk transjakarta sering digunakan motor dan mobil pribadi. Inkonsistensi tampak dari para aparat, kadang orang yang melanggar ditilang, tetapi kadang dibiarkan. Kondisi ini mendorong orang melanggar. Kalau aparat tegas, orang tak akan memakai jalur itu, orang akan tertib.

Contoh lain, kini orang Jepang terkenal dengan ketepatan waktunya. Padahal mereka mempunyai istilah yamato time, yang artinya tak jauh-jauh dari jam karet.

Menurut Raphaella, karakter tepat waktu terbentuk dari sistem di negeri itu. Pada era 1960-an, Jepang menata diri menjadi negara industri maju, termasuk membuat sistem perkeretaapian.

Sistem transportasi ini tepat waktu. Orang dituntut mengejar waktu agar tak tertinggal kereta. Sistem transportasi itu pada akhirnya membentuk budaya bangsa Jepang.

”Kuncinya konsisten, kalau tidak, orang malah mencari peluang untuk tidak tertib,” katanya.

Jakarta boleh jadi dianggap sarat persoalan dan tak menyenangkan. Tetapi, baik atau buruk inilah kota yang kita huni. Yuk, sama-sama menjaganya agar menjadi lebih baik! Selamat ulang tahun Jakarta.

(FABIOLA PONTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com