Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akil Mochtar: Saweran Gedung KPK Termasuk Gratifikasi

Kompas.com - 28/06/2012, 19:08 WIB
Aditya Revianur

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Akil Mochtar, menilai, "saweran" gedung baru KPK termasuk dalam gratifikasi mengingat peran KPK sebagai lembaga negara. Tindak gratifikasi yang melibatkan pengawai negeri sipil (PNS) atau lembaga negara dilarang berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Saweran gedung baru KPK itu gratifikasi karena KPK kan lembaga negara. Berhubung hal itu gratifikasi. Bisa saja uang tersebut berasal dari golongan yang hitam, misalnya korupsi atau pencucian uang," ujar Akil Mochtar, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/6/2012).

Ia berpendapat, lembaga seperti KPK tidak sepatutnya menerima hibah karena setiap hibah harus masuk ke APBN. KPK harus ikut dengan sistem yang mengatur lembaga negara. Ia menegaskan, kewenangan setiap lembaga negara diatur Undang-Undang. Akil juga mengingatkan masyarakat untuk menyadari peran KPK sebagai lembaga negara yang tunduk pada konstitusi.

"Kita harus menyadari jika pola-pola menerima imbalan seperti halnya saweran yang ditujukan kepada lembaga negara tidak bisa kita lakukan. KPK itu lembaga negara yang bertujuan menindak setiap bentuk korupsi, harusnya KPK tahu itu dan tidak melontarkan (ide) untuk meminta sumbangan gedung baru karena itu sama saja dengan menerima suap. Tidak mungkin uang koin sejumlah Rp 64 miliar itu bisa dilaporkan satu per satu ke negara," tambahnya.

Dalam UU No. 20 tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Landasan hukum tentang gratifikasi diatur dalam UU 31 No. 1999 dan UU 20 No. 2001 Pasal 12. Ancamannya adalah hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

    Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

    Nasional
    Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

    Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

    Nasional
    Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

    Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

    Nasional
    Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

    Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

    Nasional
    Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

    Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

    Nasional
    Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

    Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

    Nasional
    Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

    Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

    Nasional
    Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

    Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

    Nasional
    Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

    Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

    Nasional
    Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

    Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

    Nasional
    Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

    Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

    Nasional
    UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

    UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

    Nasional
    Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

    Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

    Nasional
    Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

    Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

    Nasional
    Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

    Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com