Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalur Alternatif Sarat Masalah

Kompas.com - 10/08/2012, 15:44 WIB

KOMPAS.com - Jalur-jalur alternatif yang biasa digunakan sebagai opsi bagi pemudik Lebaran masih menyisakan beragam kendala. Kendala itu menyebabkan tingkat aksesibilitas pemudik untuk menggunakan jalur alternatif tersebut menjadi terbatas.

Kompas berupaya menggambarkan kondisi riil di jalur-jalur alternatif tersebut dengan survei pada 1-5 Agustus 2012 ke sejumlah lokasi di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, hingga Sumatera Selatan. Lokasi-lokasi tersebut dipilih karena menjadi sasaran terdekat arus mudik yang keluar secara bersamaan dalam jumlah besar dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Dinas Perhubungan DKI Jakarta memperkirakan, puncak arus mudik jalur darat (jalan raya dan kereta api) terjadi pada H-2 atau Jumat (17/8). Adapun puncak arus mudik yang menggunakan moda transportasi laut diproyeksikan terjadi pada Selasa (14/8/2012) dan arus mudik yang menggunakan alat angkut udara akan membludak pada 16 Agustus 2012.

Ada sekitar 8,5 juta orang yang akan berjejalan keluar dari Jabodetabek ke segala arah mulai 12 Agustus 2012 demi memenuhi ritual tahunan yang meski melelahkan, tetap menggembirakan ini. Itu artinya ada kenaikan jumlah orang yang akan mudik sekitar 15,20 persen di atas jumlah penumpang seluruh moda transportasi mudik pada 2011 yang mencapai 7,245 juta jiwa.

Histeria mudik tahunan ini akan mulai terasa meletihkan ketika jalan raya yang dilalui terlalu padat sehingga menimbulkan kemacetan parah di jalur-jalur utama. Ini menjadi perhatian karena sebagian besar pemudik memang menggunakan moda transportasi darat selain kereta api, baik mobil pribadi, sepeda motor, bus umum, maupun bus sewaan.

Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, jalur utama untuk keluar dari Jabodetabek ke arah timur sudah sangat dikenal, seperti jalur pantai utara (pantura), mulai dari Cikampek, Indramayu, hingga Cirebon, kemudian berlanjut ke Brebes, Tegal, hingga Semarang. Jalur utama lainnya tidak lain adalah jalur selatan yang dimulai dari Tol Cipularang, Cileunyi, Rancaekek, Cicalengka, tanjakan Nagreg, Malangbong, Gentong (Tasikmalaya) Ciamis, Banjar, Majenang, Banyumas, Kebumen, hingga Yogyakarta.

Namun, aliran kendaraan yang membentuk arus utama ke jalur-jalur tersebut membuat kebutuhan pada jalur alternatif menjadi semakin besar pada masa mudik. Namun, sederetan masalah masih dapat menjadi kendala bagi para pemudik.

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono di Jakarta, Rabu (8/8/2012), menegaskan, jalur alternatif tidak dijadikan jalur utama pemudik. Jalur-jalur alternatif hanya digunakan pada saat ada lonjakkan arus lalu lintas di jalur utama. Hal tersebut sama dengan perlakuan pemerintah terhadap jalur alternatif masa Lebaran tahun 2011.

Hanya siang

Kendala yang paling umum ditemui adalah minimnya lampu penerangan di sepanjang jalur alternatif sehingga praktis hanya aman untuk digunakan pada siang hari. Kemudian, lebar jalan yang sempit sehingga sangat rentan kecelakaan jika terjadi persinggungan. Ketika ada kendaraan jatuh atau mogok di jalan itu, kemacetan parah bisa terjadi.

Kendala seperti itu, antara lain, dapat ditemui di jalur Malangbong (Garut, Jawa Barat)-Wado, Sumedang-Pusat Kota Sumedang menuju Majalengka. Lalu di jalur Cijapati-Leles, Garut, dan jalur Leles-Limbangan serta rute selatan Cileunyi-Cijapati-Garut. Kondisi serupa ditemui di jalur Sumatera, terutama di ruas Baturaja-Prabumulih, yang membahayakan jika dilewati malam hari, termasuk jalur selepas Palembang, di Kayuagung hingga Menggala.

Dari total panjang jalur Cijapati-Leles, Garut, 25 kilometer, hampir setengahnya masih diperbaiki dan diperlebar. Bukan itu saja, ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) juga minim. ”Dari Cileunyi hanya ada dua pom bensin dan satu di antaranya hanya menyediakan Premium tanpa Pertamax dan solar,” ujar Ujang Hadi (35), warga Cijapati.

Di jalur sepanjang 60 kilometer dari Wado-Kota Sumedang-Tomo-Majalengka dapat ditemui SPBU kecil berdispenser tunggal, selain SPBU besar yang rata-rata berjarak sekitar 5 kilometer. Namun, tidak banyak yang menjual Pertamax.

”Di kampung seperti ini jarang yang membeli Pertamax. Pertamax paling dekat ada di daerah Darmaraja, Sumedang,” tutur Manajer SPBU Endang Suhendar, di Pajagan, Sumedang, Kamis (2/8/2012).

Jalur alternatif juga jarang dilengkapi rambu navigasi sebagai panduan untuk keluar dari jalur tersebut. Penggunaan GPS (alat berbasis satelit yang dapat memandu penggunanya agar tidak salah arah) dapat sangat membantu. GPS dapat dipakai di jalur alternatif karena sinyal telepon seluler rata-rata tetap bagus.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com