Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dataran Banjir yang Kebanjiran

Kompas.com - 18/01/2013, 04:19 WIB

Jan Pieterszoon Coen memimpikan duplikat Amsterdam di Belanda ketika meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran pada 1619. Kota yang dibangun di atas reruntuhan Jayakarta itu dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal. Ahmad Arif

Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda. Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus, Kali Besar, memotong kota menjadi dua bagian.

Namun, impian Coen hanya bertahan singkat. Kota Batavia, yang dibangun Coen, memang sempat dijuluki ”Venesia dari Timur”. Namun, tak lama kemudian, pertumbuhan kota tak terkendali, rumah-rumah yang ada sempit dan berimpit. Endapan lumpur yang memampetkan terusan berbau busuk dan menjadi sarang malaria.

Riwayat banjir

Banjir ternyata tak terbendung. Hanya tiga tahun sejak dibangun, tahun 1621, Batavia kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 dan sejak itu terus membesar. Kota yang dirancang Coen ini perlahan ditinggalkan.

Menurut catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta sejak zaman kolonial hingga sekarang, pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi dan sehat di selatan, yaitu Weltevreden.

Weltevreden yang semula hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi 1807, Herman Willem Daendels membangun pusat pemerintahan ibu kota koloni Belanda di Asia di Weltevreden. Awalnya, Daendels hendak membangun pusat pemerintahan di Semarang atau Surabaya. Karena alasan biaya, dia membangun di Weltevreden. Pada 1830, ibu kota Hindia Belanda resmi pindah ke Weltevreden, sekitar Lapangan Banteng saat ini.

Daerah ibu kota itu kemudian berkembang pesat. Namun, banjir tak beranjak pergi. Menurut Restu, 1 Januari 1892, Weltevreden kebanjiran. Seperti ditulis koran Siang Po, banjir terjadi setelah turun hujan lebat selama delapan jam. Curah hujan yang tercatat di Batavia saat itu 286 milimeter. Sebagai catatan, ketinggian curah hujan saat itu jauh lebih tinggi dibandingkan curah hujan rata-rata selama dua hari terakhir, 40-100 mm, yang menyebabkan banjir besar di Jakarta. Artinya, faktor perubahan cuaca boleh diabaikan sebagai penyebab banjir Jakarta.

Setahun kemudian, banjir lebih besar melanda. Hampir seluruh kota terendam. Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pasayuran, Kebon Jeruk, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam air hingga 1 meter. Banjir memicu wabah kolera sehingga banyak warga meninggal.

Restu juga mencatat, Batavia kembali kebanjiran pada 1895, 1899, 1904, dan 1909. Pemerintah kolonial dinilai gagal mengatasi banjir. Pada 19 Februari 1909, koran de Locomotief menulis berita berjudul ”Batavia Onder Water”, pelesetan dari singkatan BOW (Burgelijke den Openbare Werken), kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk pengairan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com