Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarik Ulur Subsidi BBM

Kompas.com - 03/05/2013, 02:40 WIB

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali melempar bola panas subsidi bahan bakar minyak ke parlemen. Saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2013, Selasa (30/4), di Jakarta, Yudhoyono mengisyaratkan akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi jika dana kompensasi disetujui DPR.

Rencana dana kompensasi itu disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013 yang akan dibahas dengan DPR pada Mei ini. Kompensasi kenaikan harga BBM akan berupa beras untuk rakyat miskin, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan bantuan langsung sementara masyarakat berupa transfer tunai.

Hal ini berarti realisasi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi terancam mundur dan bakal melalui pembahasan alot. Menjelang Pemilu 2014, politisi akan berlomba menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan memprotes rencana kenaikan harga BBM. Usulan dana kompensasi, khususnya bantuan langsung tunai, juga bakal ditentang karena menguntungkan partai berkuasa.

Tahun lalu, pemerintah batal menaikkan harga BBM bersubsidi karena tak disetujui DPR. Pemerintah lalu menerapkan kebijakan baru, yaitu penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Masyarakat yang tidak berhak menerima subsidi tidak memakai BBM bersubsidi. Namun, pemerintah gagal menciptakan mekanisme efektif yang memaksa masyarakat mampu tidak mengonsumsi BBM bersubsidi. Terbukti kebijakan pemerintah menimbulkan banyak masalah di lapangan karena tidak ada pengawasan dari pemerintah.

Kini, sesuai Undang-Undang APBN 2013, wewenang menaikkan harga BBM ada pada pemerintah. Sayangnya, makin dekat dengan waktu ideal pelaksanaan kenaikan harga BBM pada Mei ini, Presiden justru kian ragu mengambil keputusan tidak populis dan masih akan berkonsultasi dengan DPR.

Sebelumnya pemerintah melontarkan rencana pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi BBM pada Mei ini. Produk Premium dan Solar bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum, sedangkan BBM bersubsidi dengan harga baru yang lebih tinggi daripada Rp 4.500 per liter untuk kendaraan berpelat nomor hitam.

Pertamina, Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi, dan Badan Pengatur Hilir Migas telah mengidentifikasi SPBU yang khusus menjual BBM bersubsidi dengan harga Rp 4.500 dan SPBU yang menyediakan BBM bersubsidi dengan harga baru. Spanduk dan baliho pun telah dibagikan kepada SPBU di daerah-daerah.

Belakangan pemerintah berubah haluan dan berniat membatalkan pemberlakuan dua harga BBM bersubsidi dengan dalih kebijakan itu sulit dilaksanakan di lapangan dan rawan penyelewengan. Opsi yang kini mengemuka adalah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk semua kendaraan dengan syarat dana kompensasinya disetujui DPR.

Berlarutnya pengambilan keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi memicu pembelian Solar bersubsidi berlebihan demi meraup untung. Hingga triwulan pertama 2013, penyaluran Solar melebihi kuota hingga 5,2 persen. Kelangkaan Solar bersubsidi pun terjadi di sejumlah daerah karena kuotanya habis.

Konsumsi BBM yang tidak terkendali akan berdampak terhadap membengkaknya subsidi. Dalam APBN 2013 nilai subsidi total Rp 361,1 triliun, sedangkan subsidi BBM Rp 193,8 triliun dengan kuota BBM bersubsidi 46 juta kiloliter. Jika tidak dikendalikan, subsidi BBM menyentuh Rp 297,7 triliun dan defisit mencapai Rp 353,6 triliun atau 3,83 persen dari produk domestik bruto.

Subsidi BBM telah merongrong APBN. Selama 9 tahun terakhir, hampir selalu subsidi BBM lebih besar daripada nilai defisit APBN. Hanya pada tahun 2009 subsidi BBM lebih kecil daripada defisit. Selama ini defisit APBN ditutup dengan utang melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Berarti secara tidak langsung subsidi BBM dibiayai utang pemerintah.

Karena harga barang dan jasa naik, sementara harga nominal BBM disandera bertahun-tahun, harga relatif turun tajam. Akibatnya, permintaan terhadap BBM naik melampaui pola normalnya sehingga alokasi sumber daya tidak efisien. Di sisi lain, produksi minyak mentah terus turun hingga sekitar 840.000 barrel per hari. Akibatnya, impor BBM dan minyak mentah untuk kebutuhan di dalam negeri terus naik.

Untuk keluar dari jerat subsidi BBM, kuncinya ada pada kepemimpinan yang berani mengambil keputusan meski tidak populis. Dengan kewenangan menaikkan harga BBM, pemerintah semestinya tidak lagi berubah-ubah dalam kebijakan mengurangi subsidi BBM.(EVY RACHMAWATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com