Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hal Ihwal Penyitaan

Kompas.com - 15/05/2013, 02:40 WIB

Eddy OS Hiariej

Ketegangan antara Partai Keadilan Sejahtera dan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin meruncing menyusul tindakan pimpinan PKS yang melaporkan sejumlah oknum KPK ke Mabes Polri.

Laporan tersebut terkait penyitaan oleh KPK terhadap sejumlah mobil yang diduga berhubungan dengan tersangka korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishak, di kantor PKS beberapa waktu lalu. Bagaimana sebenarnya hukum pidana mengatur hal ihwal penyitaan?

Hakikat penyitaan

Penyitaan adalah salah satu upaya paksa—selain penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan pemeriksaan surat—yang dapat dilakukan terhadap barang atau benda yang diduga terkait suatu tindak pidana. Penyitaan ini pada hakikatnya dibutuhkan untuk kepentingan pembuktian dalam perkara pidana berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk melakukan penyitaan diperlukan beberapa prosedur, antara lain surat izin ketua pengadilan negeri.

Kecuali dalam hal tertangkap tangan atau keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus bertindak dan tak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dulu, penyidik dapat menyita sebatas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri untuk memperoleh persetujuan.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak mengatur khusus persoalan penyitaan. Artinya, jika Polri atau Kejaksaan yang melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi, maka yang berlaku adalah prosedur penyitaan sebagaimana dimaksud KUHAP.

Hal ini berbeda dengan penyidikan yang dilakukan KPK. Berdasarkan Pasal 47 UU KPK, penyitaan dapat dilakukan hanya berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa izin ketua pengadilan negeri. Bahkan, secara tegas, Pasal 47 Ayat (2) undang-undang a quo menyebutkan bahwa ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur tindakan penyitaan tidak berlaku berdasarkan undang-undang a quo. Konsekuensinya, KPK dapat melakukan penyitaan di luar prosedur yang diatur oleh KUHAP ataupun UU lain.

Lalu, apa saja yang boleh disita terkait tindak pidana korupsi? Dalam konteks teori, benda atau barang yang dapat disita dikualifikasikan ke dalam tiga jenis. Pertama, instrumentum sceleris, yaitu perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap benda atau barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, objectum sceleris, yakni perampasan dalam pengertian penyitaan terhadap obyek yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Ketiga, fructum sceleris, yaitu penyitaan terhadap hasil tindak pidana korupsi.

Terkait fructum sceleris, seharusnya harta benda atau barang yang disita punya nilai yang sama jumlahnya dengan uang yang diduga dikorup. Tegasnya, penyitaan tidak boleh melebihi nilai uang yang diduga dikorup. Akan tetapi, sering kali KPK melakukan penyitaan terhadap harta benda atau barang melampaui nilai uang yang diduga dikorup oleh tersangka. Apakah hal ini dibolehkan? Secara teoretis tentunya tindakan KPK tidak dibenarkan, tetapi UU Pemberantasan Tipikor berkata lain.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com