Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tepian Sunda Kelapa Siang Itu

Kompas.com - 15/06/2013, 13:28 WIB
Windoro Adi

Penulis

Setelah kapal jadi, berangkatlah Sawerigading ke Cina. Ia melamar We Cundai dan tinggal di Cina. Tetapi rindu pada kampung halaman akhirnya membawa Sawerigading kembali ke Luwu. Menjelang Pantai Luwu, kapal dihajar ombak hingga pecah berkeping.

Kepingan badan kapal terdampar di Pantai Ara. Tali temali dan layar terlempar ke Tanjung Bira, sedang lunas perahu berkeping di Tana Lemo. Warga yang tinggal di ketiga daerah itu lalu menyusun kembali kepingan kapal.

Di kemudian hari, orang-orang Ara dikenal sebagai pembuat badan kapal. Orang Tana Lemo dikenal piawai melakukan sentuhan akhir kapal, sedang orang Tanjung Bira dikenal sebagai nahkoda handal.

Dari kisah itu muncul ungkapan, “Panre patangan'na Bira. Paingkolo tu Arayya. Pabingkung tu Lemo Lemoa” (Mereka yang ulung melihat cakrawala adalah orang-orang Bira. Mereka yang terampil menggunakan singkolo atau alat perapat papan kapal adalah orang-orang Ara, sedang mereka yang piawai menghaluskan kapal adalah orang-orang Tana Lemo). Meski sudah surut, di Desa Bira di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, masih tersisa kegiatan membuat pinisi atau lambo di sana.

Kata Haji Rahim, awal tahun 2000-an, pelayaran rakyat (Pelra) di Pelabuhan Sunda Kelapa yang pernah diramaikan para pelaut dan pengusaha Bugis, Makassar, Madura, dan Banten, mulai surut. “Sekarang tinggal orang-orang Bugis saja yang masih bertahan,” ungkapnya.

Haji Rahim mengakui, persaingan ketat bisnis pelayaran saat ini tak bisa cuma mengandalkan tekad kuat dan pantang menyerah dengan bingkai cerita rakyat nan elok. “Butuh modal lebih kuat untuk memodernisasi dan membangun jaringan bisnis. Butuh dukungan dan keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan Pelra,” ujarnya mengakhiri percakapan.

Pekerja angkut pinisi-lomba, Slamet (45), dan  Fachrul (32), membenarkan kisah Haji Rahim. Menurut dia, sejak tahun 2003, angkutan kayu dari Sumatera dan Kalimantan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, mulai surut. Hal itu menandai surutnya usaha Pelra yang didominasi kapal-kapal pinisi-lomba.

“Sekarang, dari Batam ke Jakarta baru membawa semen, tapi dari Jakarta ke Batam, kosong,” ucap pria yang sudah bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa sejak tahun 19843 itu saat ditemui di bibir pelabuhan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com