KOMPAS.com - Bukan hal mudah pindah dan menyesuaikan diri dari tempat lama ke tempat baru. Bukan hal mudah membangun budaya tertib, menghormati hidup orang lain dengan mematuhi aturan main bersama. Bagi 94 kepala keluarga (KK) pemukim bantaran Kali Pakin, itu bukan hal mudah.
Maret 2013 lalu, mereka dipindahkan dari sana ke Rusunawa (rumah susun sederhana sewa) Budha Tzu Chi, Muara Angke. Kawasan pemukiman liar yang mereka huni, kena proyek normalisasi Waduk Pluit Muara Baru.
Relokasi ke-94 KK ini adalah relokasi yang ketiga di Rusunawa Budha Tzu Chi, Muara Angke yang dihuni sejak 2005. Relokasi pertama berlangsung tujuh tahun lalu. Sebanyak 409 KK penghuni Kali Adem, dipindahkan. Relokasi kedua, Desember 2012. Sebanyak 97 KK penghuni pemukiman kumuh di Kampung Tanggul Bhakti, dipindah.
Ketika tinggal di pemukiman liar, Entin (58) tak perlu membayar uang sewa atau uang iuran pengelolaan lingkungan bulanan Rusunawa Budha Tzu Chi, Rp 90 ribu, serta biaya penggunaan air dan listrik, Rp 150.000. “Waktu masih tinggal di pinggir kali, kami cuma bayar listrik Rp 5.000. Air tinggal nyendok di kali,” kata janda seorang pekerja kebersihan itu.
Sehari-hari Entin berjualan gado-gado, rujak, karedok, dan seduhan kopi panas. Pendapatannya sehari Rp 50 ribu. Tiga anaknya putus sekolah karena tak ada biaya. Ia tinggal di Rusunawa sejak 2007.
Teh Neng (44), pemilik warung rokok di salah satu sudut pintu masuk Rusunawa Budha Tzu Chi mengatakan, ketika masih tinggal di bantaran Kali Adem, ia bisa rutin menyiapkan Sembako bagi para nelayan yang melaut dengan kapal ikan berukuran besar. “Sekali belanja Sembako, nelayan bisa menghabiskan uang Rp 2 juta untuk kebutuhan selama dua bulan di laut,” ucap janda beranak tiga itu. Di sini, lanjutnya, saya cuma bisa buka warung rokok dengan penghasilan yang sudah jauh lebih kecil.
Saidah (38), penghuni Rusunawa Budha Tzu Chi lainnya asal Pamekasan, Madura, mengaku kurang kerasan setelah tinggal tiga bulan di Rusunawa. Ia adalah istri Hanafi (32), kuli panggul di lokasi pelelangan ikan Muara Angke. Sebelumnya, di pemukiman liar, keduanya memiliki 18 pintu rumah kontrakan.
Ia membeli rumah kontrakan itu delapan bulan lalu seharga Rp 32 juta tanpa surat tanah dan akte jual beli yang sah. “Baru tiga bulan jalan sudah dibongkar. Padahal hasil rumah kontrakkan itu Rp 3 juta per bulan. Saya kontrakkan mulai harga Rp 180 ribu - Rp 300 ribu, per bulannya. Hidup di Rusunawa, membuat kami makin miskin,” tuturnya. Ia tak menjawab ketika ditanya, bukankah rumah kontrakkan yang ia miliki, ilegal dan merusak lingkungan?
Pasangan Toat Hidayat (62) - Koriyah (53) pun dulu memiliki 5 pintu rumah kontrakan. Setiap pintu disewakan, Rp 200 ribu per bulan. Sekarang, keduanya hanya mengandalkan pendapatan dari mengemudi bajaj dan berdagang ikan.
“Suami saya lebih banyak mengantar jemput saya berdagang ikan dengan bajaj. Maklum, sudah tua, pendapatan dia dari narik bajaj tak bisa diandalkan lagi,” ucap ibu beranak tujuh itu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.