Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Sore di Rusunawa Budha Tzu Chi, Muara Angke

Kompas.com - 15/06/2013, 14:15 WIB
Windoro Adi

Penulis

KOMPAS.com - Bukan hal mudah pindah dan menyesuaikan diri dari tempat lama ke tempat baru. Bukan hal mudah membangun budaya tertib, menghormati hidup orang lain dengan mematuhi aturan main bersama. Bagi 94 kepala keluarga (KK) pemukim bantaran Kali  Pakin, itu bukan hal mudah.

Maret 2013 lalu, mereka dipindahkan dari sana ke Rusunawa (rumah susun sederhana sewa) Budha Tzu Chi, Muara Angke. Kawasan pemukiman liar yang mereka huni, kena proyek normalisasi Waduk Pluit Muara Baru.

Relokasi ke-94 KK ini adalah relokasi yang ketiga di Rusunawa Budha Tzu Chi, Muara Angke yang dihuni sejak 2005. Relokasi pertama berlangsung tujuh tahun lalu. Sebanyak 409 KK penghuni Kali Adem, dipindahkan. Relokasi kedua, Desember 2012. Sebanyak 97 KK penghuni pemukiman kumuh di Kampung Tanggul Bhakti, dipindah.

Ketika tinggal di pemukiman liar, Entin (58) tak perlu membayar uang sewa atau uang iuran pengelolaan lingkungan bulanan Rusunawa Budha Tzu Chi, Rp 90 ribu, serta biaya penggunaan air dan listrik, Rp 150.000. “Waktu masih tinggal di pinggir kali, kami cuma bayar listrik Rp 5.000. Air tinggal nyendok di kali,” kata janda seorang pekerja kebersihan itu.

Sehari-hari Entin berjualan gado-gado, rujak, karedok, dan seduhan kopi panas. Pendapatannya sehari Rp 50 ribu. Tiga anaknya putus sekolah karena tak ada biaya. Ia tinggal di Rusunawa sejak 2007.

Teh Neng (44), pemilik warung rokok di salah satu sudut pintu masuk Rusunawa Budha Tzu Chi mengatakan, ketika masih tinggal di bantaran Kali Adem, ia bisa rutin menyiapkan Sembako bagi para nelayan yang melaut dengan kapal ikan berukuran besar. “Sekali belanja Sembako, nelayan bisa menghabiskan uang Rp 2 juta untuk kebutuhan selama dua bulan di laut,” ucap janda beranak tiga itu. Di sini, lanjutnya, saya cuma bisa buka warung rokok dengan penghasilan yang sudah jauh lebih kecil.

Saidah (38), penghuni Rusunawa Budha Tzu Chi lainnya asal Pamekasan, Madura, mengaku kurang kerasan setelah tinggal tiga bulan di Rusunawa. Ia adalah istri Hanafi (32), kuli panggul di lokasi pelelangan ikan Muara Angke. Sebelumnya, di pemukiman liar, keduanya memiliki 18 pintu rumah kontrakan.

Ia membeli rumah kontrakan itu delapan bulan lalu seharga Rp 32 juta tanpa surat tanah dan akte jual beli yang sah. “Baru tiga bulan jalan sudah dibongkar. Padahal hasil rumah kontrakkan itu Rp 3 juta per bulan. Saya kontrakkan mulai harga Rp 180 ribu - Rp 300 ribu, per bulannya. Hidup di Rusunawa, membuat kami makin miskin,” tuturnya. Ia tak menjawab ketika ditanya, bukankah rumah kontrakkan yang ia miliki, ilegal dan merusak lingkungan?

Pasangan Toat Hidayat (62) - Koriyah (53) pun dulu memiliki 5 pintu rumah kontrakan. Setiap pintu disewakan, Rp 200 ribu per bulan. Sekarang, keduanya hanya mengandalkan pendapatan dari mengemudi bajaj dan berdagang ikan.

“Suami saya lebih banyak mengantar jemput saya berdagang ikan dengan bajaj. Maklum, sudah tua, pendapatan dia dari narik bajaj tak bisa diandalkan lagi,” ucap ibu beranak tujuh itu.

Komunikasi yang lebih terbuka

Kasubsektor Muara Angke, Inspektur Satu Suparno mengakui, tak mudah menyesuaikan diri tinggal di Rusunawa. Apalagi bila para penghuninya berasal dari bermacam latar belakang budaya yang berbeda, berpendidikan rendah, dan masih terbelit kemiskinan.

“Dengan latar belakang seperti itu, emosi warga mudah tersulut. Akal sehat nyaris hilang,” tutur Suparno. Setelah pertikaian antar suku tak lagi terjadi, yang timbul adalah kekerasan dalam rumah tangga. “Pemicunya, rasa cemburu antara suami dan istri, perilaku anak-anak yang menyebalkan orangtua, atau karena soal ekonomi,” papar Suparno.

Kata salah seorang penghuni Rusunawa, Nani (38), pertengkaran di antara anak-anak seringkali merambat ke pertengkaran antar orangtua mereka. “Dari soal rebutan mainan anak-anak, bisa merembet ke adu mulut antar ibu, terus berlanjut antar ibu dan ayah. Ruwet deh,” ujar Nani.

Meski demikian, kata Nani dan Suparno, tak satupun kasus KDRT sampai ke meja hijau. “Ujungnya, penyelesaian kasus secara kekeluargaan dengan pendampingan para pemuka kaum, dan kami,” ucap Nani.

Setiap terjadi pertengkaran, Suparno selalu mengingatkan pentingnya meningkatkan dan menjalin komunikasi yang lebih terbuka. “Lebih terbuka artinya, ada komunikasi dua arah. Informasi yang diserap pun juga harus dari bermacam arah dan diperiksa kembali kebenarannya sebelum dikomunikasikan. Jangan buru-buru ambil kesimpulan sendiri kalau informasi yang diterima tidak lengkap dan belum diperiksa kebenarannya,” jelas Suparno.

Menurut Kepala Properti Rusunawa Budha Tzu Chi, Muara Angke, Rendra Widiatmoko, saat ini Rusunawa dihuni 3.700 jiwa. Sebagian Rusunawa, setiap unitnya dihuni oleh lebih dari 2 KK. Unit yang berukuran 36 meter persegi itu terdiri dari dua kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Setiap kamar dilengkapi 6 kursi plastik, 1 meja bundar kayu, 2 lemari -- tunggal dan ganda, satu ranjang besar, dan  satu ranjang kecil bertingkat.

Sulit tertib

Kata Rendra, 70 persen penghuni adalah keluarga nelayan termasuk pedagang, kuli panggul, dan sopir angkutan ikan. “Warga di sini masih sulit menjaga kebersihan, dan ketertiban. Galakan warga ketimbang pengelola. Dilarang mendirikan lapak-lapak dagang, marah. Tapi kalau timbul pertengkaran antar warga karena merasa ada yang dirugikan dengan hadirnya lapak-lapak liar itu, pengelola yang disalahkan” ucap Rendra. Padahal, lanjutnya, pengelola sudah menyiapkan 24 lapak dan 2 kios besar. Lapak dan kios itu pun akhirnya menjadi gudang.

Teh Neng membenarkan. “Baru saja saya mengepel gang, eh, nylonong seenaknya aja tuh penghuni. Berondongan lagi lewatnya. Permisi kek. Melipir kek jalannya cari bagian lantai yang sudah kering dipel. Enggak juga. Ditegur, galakan mereka dari kita,” ujarnya.

Komandan regu keamanan Rusunawa, Suhermin (23) pun mengaku tak mampu berbuat banyak. “Paling juga diam sendiri kalau sudah lelah adu mulut. Kalau makin memanas, kami lapor polisi saja. Habis gimana ? Ditengahin, dibilang kami pilih kasih belain yang sana. Dibiarin, disalahin juga sama warga lain karena suasana jadi gaduh,” tutur Suhermin.

Ia pun menjadi enggan menata tempat parkir karena galakan penghuninya. “Ditegur baik-baik, balik membentak. Pake ngancem-ngancem segala. Penghuni sini susah dibilangin,” ujar Suhermin. Ia menambahkan, dulu di pintu masuk dibangun portal.

Pemeriksaan kartu identitas pun dilakukan. Tetapi sebagian warga menentang. “Kata mereka, kaya enggak kenal aja,” kata Suhermin. Pos pos kamling pun dijadikan tempat nongkorng main kartu dan catur.

Ketidaktertiban ini akhirnya menyebabkan pencurian sepeda motor warga meningkat. “Sebagian pelakunya penghuni Rusunawa, atau kawan penghuni dari luar,” ujar Suhermin malas.

Ketua RW 20, Muhammad Aola (50) yang membawahi 9 RT, tak ingin menyerah menghadapi carut marut sosial di Rusunawa. “Sekarang setiap bulan kami mengadakan rapat rutin bersama para ketua RT, membahas masalah sosial yang timbul di setiap RT, lalu kami carikan solusinya,” ujar Aola.

Dari pertemuan rutin tersebut Aola berkesimpulan, pemicu utama pertengkaran adalah uang. “Maklum, sebagian besar penghuni di sini masih hidup di bawah layak,” ucap Aola.

Memang bukan hal mudah membangun budaya tertib, menghormati hidup orang lain dengan mematuhi aturan main bersama, di antara kaum yang masih harus bekerja keras memperbaiki tingkat kesejahteraan keluarga yang jauh dari layak. Mereka membutuhkan pendampingan menata kembali sistem sosial yang disepakati bersama.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com