Perpres No 14/2007 dan perubahannya hanya berkutat menangani semburan lumpur (penanggulan dan pembuangan lumpur ke Sungai Porong), sosial (khususnya ganti-rugi), dan infrastruktur (transportasi).
Tidak satu pun dalam Perpres yang mengatur upaya pemulihan kehidupan sosial-ekologis yang rusak akibat bencana lumpur panas Lapindo. Padahal, masih menurut Cernea (2003), selain menata ulang kehidupan sosialnya, korban pemindahan paksa juga harus bangkit dari keterpurukan. Skema pembayaran Lapindo secara cicilan memperburuk percepatan pemulihan ini.
Apalagi, pemerintah belum memperhitungkan pembangunan kembali gedung sekolah dan ruang publik yang terendam lumpur. Pemerintah lebih fokus pada relokasi infrastruktur transportasi.
Ganti rugi juga tidak pernah ditujukan untuk mengganti, misalnya, biaya pengobatan akibat gas hidrokarbon yang menyertai semburan lumpur panas (Walhi, 2008). Catatan dari tiga puskesmas di tiga kecamatan terdampak, ada peningkatan signifikan jumlah penderita gangguan pernapasan (ISPA).
Juga masih terlupakan usaha pemulihan ekologis wilayah yang terendam lumpur. Lumpur yang mengandung logam berat dialirkan begitu saja ke Sungai Porong. Dalam jangka panjang, logam berat dapat memicu berbagai gangguan kesehatan.
Dengan demikian, kasus Lapindo bukanlah semata persoalan ganti rugi. Ada ihwal penting lainnya, yaitu pemulihan kehidupan sosial-ekologis.
Karena itu, setelah tujuh tahun kita perlu mendesakkan strategi yang lebih sistemik untuk memulihkan kehidupan sosial-ekologis masyarakat dan lingkungannya, selain mengingatkan terus penyelesaian ganti rugi.