Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/07/2013, 13:48 WIB

Menurut Drs Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum, sumber data tekstual lain yang lebih awal memberitakan mengenai beduk adalah Kidung Malat (pupuh XLIX)” (Poerbatjaraka, 1968:325). Dalam penyebutan itu, waditra beduk difungsikan sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra yang berbentuk kidung, termasuk pula susastra kidung dengan lakon Panji sebagaimana halnya Kidung Malat tersebut, merupakan susastra yang ditulis pada masa pemerintah-an Majapahit. Jika benar demikian, berarti beduk telah ada sejak masa Majapahit (XIV-XVI Masehi). Boleh jadi, ketika itu nama “beduk” belum lazim dipergunakan. Istilah yang lebih sering dipakai untuk menyebut waditra serupa ini adalah “teg-teg”. Menurut Jaap Kunst (1968:44), teg-teg adalah waditra kelompok membra-phone menyerupai beduk. Fungsinya juga sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). Waditra ini disebut dalam sejumlah susastra yang relatif seja-man, seperti dalam Kidung Harsyawijaya (II.51b; V.2a), Kidung Ranggalawe (XI. 101), Kidung Malat (II.1b, V.53a, XII.99b, XVI.87a), dan Wasengsari (2.3b) (Cah-yono, 2003:173).

Oleh karena Kidung Malat menyebut dua waditra dengan nama “bedug” dan “teg-teg”, maka keduanya tentu waditra yang berlainan. Istilah “teg-teg” yang juga merupakan istilah onomatopik, membayangkan tentang waditra jenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug. Bunyi teg-teg dihasilkan oleh waditra jenis genderang berukuran lebih besar daripada waditra jenis genderang yang menghasilkan bunyi dug-dug. Apabila menilik paparan Houtman di atas, terbayang bahwa beduk yang dimaksud adalah beduk ukuran kecil atau sedang, yang ditempatkan dengan cara digantung. Pada masa sekarang, beduk semacam ini dinamai pula dengan “jedor” atau “jidor”. Kini istilah “teg-teg” telah jarang atau bahkan nyaris hilang. Namun, beberapa yang waktu lalu masih dijumpai istilah yang mengingatkan kita pada waditra teg-teg. Misalnya pada perkataan “wis wanci keteg (sudah waktunya keteg)”, yang menjadi penujuk waktu tengah hari. Jatuh tempo tepat tengah hari oleh masyarakat Jawa ditandai oleh beduk bertalu.

Dalam perkataan itu, unsur “teg” dalam kata “keteg” boleh jadi menujuk pada waditra petanda waktu, yang berbentuk bedug atau yang dahulu disebut dengan “teg-teg”. Sayang sekali, sumber-sumber data tekstual tersebut sama sekali tidak merinci tentang spesifikasi bentuk, cara menabuh dan bahan pembuatan beduk dan teg-teg.

Dalam sumber data artekatual, baik yang berupa relief candi atau-pun arca, juga tidak dijumpai penggambaran tentang teg-teg. Alih-alih, sumber data artefaktual itu banyak memberi gambaran mengenai waditra-waditra bentuk lain dalam kelompok membraphone. Waditra jenis membraphone juga banyak diberitakan dalam sumber data tekstual, baik prasasti maupun susastra.

Dug dug dug....

Saat Juha asyik mengurai asal usul bedug, tiba-tiba suara beduk terdengar dari layar televisi. Juha pun memimpin istri dan anaknya untuk segera berbuka.

"Pimpinlah kami berdoa, Nek," pinta Juha kepada Nekara.
"Baik, Pa."

Juha sekeluarga pun takzim berdoa, siap menikmati rezeki hari itu dengan rasa syukur.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com