Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahok dan Kutu yang Loncat-loncat

Kompas.com - 11/09/2014, 13:39 WIB
Dimas Wahyu

Penulis

KOMPAS.com — "Ahok tidak beretika, tidak mengerti partai. Kontribusi dia di Gerindra kecil dan orang akan menilai track record dia, ini bukti orang jadi 'kutu loncat'..." (Kompas.com, Rabu, 10 September 2014).

"Kutu loncat" yang diucapkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam kutipan tersebut "mencubit" ingatan soal kekerapan penggunaan kiasan itu ketika kita berbicara soal seseorang di dunia politik atau hal lain terkait keterlibatannya dalam suatu tugas atau pekerjaan.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, "kutu loncat" sendiri punya dua makna. Yang satu binatang, satu lagi adalah kiasan untuk orang.

Kutu loncat yang binatang berarti hama berwarna oranye kehijau-hijauan, berukuran kecil, dan hidup dengan cara mengisap cairan tanaman yang masih muda. "Kutu loncat" satu lagi berarti kiasan bagi orang yang menggantungkan hidupnya dengan menumpang dari satu orang ke orang lain.

Jika bicara "kutu loncat" yang berarti orang, beberapa waktu lalu pernah juga media massa Indonesia diramaikan oleh catatan mengenai politisi Ruhut Sitompul yang memberi tanggapan ketika ia disebut sebagai bagian dari fenomena "kutu loncat" antar-partai.

"Orang kan realistis, semua punya masa depan dan mereka melihat ya masa depan kita di Demokrat," ujar Ruhut. (Ruhut: "Kutu Loncat'" Justru Realistis, Kompas.com, Kamis, 21 April 2011).

Saat itu, Ruhut dipolakan bahwa ia pasti akan loncat dari satu partai ke partai lain yang diprediksi akan memimpin, mulai dari Golkar, lalu Demokrat, dan terakhir Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Ruhut tidak menyoalkan "kutu loncat", demikian halnya dengan para pembaca yang bisa dilihat melalui komentar-komentar mereka. Oleh karena itu, semua sudah sepakat, bulat. Ruhut dan "kutu loncat" tidak masalah.

Lantas bagaimana dengan Ahok, panggilan untuk Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini merupakan Wakil Gubernur DKI Jakarta dan sebentar lagi akan naik tingkat?

Tak ubahnya Ruhut, Ahok pun mengiyakan ketika ia disebut "kutu loncat" dengan alasan bahwa memang ia berpindah-pindah partai, dari Partai Golkar, Partai Perhimpunan Indonesia Baru, lalu Partai Gerindra yang akhirnya pun ditinggalkan. Sepakatkah kita jika Ahok disebut "kutu loncat"?

Lalu, bagaimana jika misalnya Ridwan Kamil, arsitek, dosen, dan aktivis sosial yang menjadi Wali Kota Bandung—dan perlu-perlunya menegaskan untuk tidak mau disebut kader Gerindra atau PKS yang mengusungnya (Baca: Meski Dukung Prabowo-Hatta, Ridwan Kamil Tegaskan Dia Bukan Kader Partai, Kompas.com, Jumat, 30 Mei 2014)—lantas melakukan hal yang sama (sekalipun perlu dipertanyakan kenapa disebut loncat karena toh bukan kader)?

Akankah masyarakat bisa terima jika Ridwan Kamil juga disebut "kutu loncat"?

Beda kutu loncat

Dari kutipan di media massa, terlihat perbedaan antara Ruhut yang menjadi "kutu loncat" karena "kan realistis, semua punya masa depan dan mereka melihat ya masa depan kita di Demokrat" dan Ahok yang menjadi “kutu loncat” karena tidak setuju jika kepala daerah dipilih DPRD mengingat dia sendiri dipilih oleh masyarakat. Ada beda alasan soal kenapa "loncat-meloncat".

Terlebih lagi, penyebutan Ahok sebagai "kutu loncat" ini muncul di tengah catatan ketika Ahok sigap membuka jalur SMS, menanggapinya, dan meneruskan kepada pihak pemerintahan DKI Jakarta yang lalu merealisasikannya, juga obrolan sesantai "lu gue" yang menggetarkan lagu lama pimpinan DKI Jakarta.

Rasanya tidak heran jika anggapan "kutu loncat" untuk Ahok akan terjungkal jika disandingkan dengan makna "kutu loncat" di kamus. Tidak heran pula rasanya, andaikata lingkungan sosial, dalam hal ini masyarakat DKI Jakarta dan lainnya, secara psikologis (alamiah) tidak menyerap penyandingan antara Ahok dan "kutu loncat".

Faktor "siapa yang berujar" mungkin bisa menjadi pertimbangan. Ingat ketika janji-janji partai lalu disebut "janji-janji manis"? Kata-katanya manis, tidak ada yang salah, tetapi lantas malah disebut "janji-janji manis" lantaran terkait dengan "siapa yang berujar" lalu seperti sudah biasa cuma jadi janji dan tidak terealisasikan.

Kata-kata "membangun desa, membangun Indonesia" tidak ada yang salah bukan? Akan tetapi, perlu dicermati mengapa kemudian masyarakat menamainya dengan "janji manis".

Akan menarik untuk diperhatikan, terkait dengan bahasa, barangkali seorang tokoh perlu melihat dulu parameter bagaimana masyarakat melihat dirinya sehingga kata, kata-kata, istilah, atau kiasan yang disampaikannya tepat guna, bukan malah berkasus seperti masyarakat, lalu memberi istilah "janji manis" untuk program partai pada masa lalu.

Parameter itu mungkin bisa diperoleh dengan cara-cara simpel. Misalnya, melihat komentar orang di media massa (tanpa pilih-pilih media massa yang mana), melihat media sosial, dan lainnya.

***

Ngomong-ngomong soal kutu loncat, entah mengapa, sulit rasanya menemukan pencinta binatang yang coba-coba memelihara kutu loncat. Barangkali, makhluk itu terlalu kecil, punya daya juang tinggi, dan individual untuk memenuhi apa yang diinginkannya.

Sekalipun jadi kutu yang loncat-loncat, kalau terlihat bagus, ya tentu kita tidak mengaitkannya sebagai kutu loncat yang berarti kiasan seperti dalam kamus. Bagaimana?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Viral Video Pria Curi Tabung Gas 3 Kg di Warung Kelontong di Bogor

Viral Video Pria Curi Tabung Gas 3 Kg di Warung Kelontong di Bogor

Megapolitan
Beli Rumah Subsidi Proyek Jokowi di Cikarang, Warga Tergiur DP dan Cicilan Murah

Beli Rumah Subsidi Proyek Jokowi di Cikarang, Warga Tergiur DP dan Cicilan Murah

Megapolitan
Wanita di Citayam Dibegal Setelah Antar Suami ke Stasiun

Wanita di Citayam Dibegal Setelah Antar Suami ke Stasiun

Megapolitan
Aksi Nekat Pengendara Motor, Tak Pakai Helm Melintas di Jalan Tol MBZ Berujung Ditilang

Aksi Nekat Pengendara Motor, Tak Pakai Helm Melintas di Jalan Tol MBZ Berujung Ditilang

Megapolitan
Seorang Ibu di Bogor Mengalami Kerusakan Otak usai Operasi Caesar

Seorang Ibu di Bogor Mengalami Kerusakan Otak usai Operasi Caesar

Megapolitan
Kronologi Pengendara Motor Tak Pakai Helm Lawan Arah di Jalan Layang Tol MBZ

Kronologi Pengendara Motor Tak Pakai Helm Lawan Arah di Jalan Layang Tol MBZ

Megapolitan
Warga Keluhkan Air di Perumahan Subsidi Jokowi Kerap Kotor dan Berbau

Warga Keluhkan Air di Perumahan Subsidi Jokowi Kerap Kotor dan Berbau

Megapolitan
Aset di 500 Unit Rusunawa Marunda Dijarah, Eks Pengelola: Jangan Asal Lapor

Aset di 500 Unit Rusunawa Marunda Dijarah, Eks Pengelola: Jangan Asal Lapor

Megapolitan
Pakai Identitas Palsu, Polisi Kesulitan Cari Pelaku Penggelapan Mobil Bos Rental

Pakai Identitas Palsu, Polisi Kesulitan Cari Pelaku Penggelapan Mobil Bos Rental

Megapolitan
Ubin Rumah Subsidi Proyek Jokowi Retak-retak, Penghuni: Mungkin Urukan Belum Padat Sudah Dibangun

Ubin Rumah Subsidi Proyek Jokowi Retak-retak, Penghuni: Mungkin Urukan Belum Padat Sudah Dibangun

Megapolitan
6 Event Liburan Sekolah di Mal Tangerang

6 Event Liburan Sekolah di Mal Tangerang

Megapolitan
Niat Bubarkan Tawuran, Pria di Kalideres Pukul Remaja Pakai Balok Hingga Tewas

Niat Bubarkan Tawuran, Pria di Kalideres Pukul Remaja Pakai Balok Hingga Tewas

Megapolitan
Aksi Heroik Babinsa di Bogor Selamatkan Pria yang Hendak Bunuh Diri di Jembatan

Aksi Heroik Babinsa di Bogor Selamatkan Pria yang Hendak Bunuh Diri di Jembatan

Megapolitan
Heru Budi Minta Anak Buahnya Tindak Tegas Pelaku Penjarahan Aset Rusunawa Marunda

Heru Budi Minta Anak Buahnya Tindak Tegas Pelaku Penjarahan Aset Rusunawa Marunda

Megapolitan
Sebelum Kebakaran, Pencuri di Minimarket Depok Sempat Bakar Rokok Curiannya

Sebelum Kebakaran, Pencuri di Minimarket Depok Sempat Bakar Rokok Curiannya

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com