"Undang-Undang Pers silakan didahulukan. Namun, penyidikan berjalan karena ada pelapor yang dirugikan dan unsur pasal yang dituduhkan masuk," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Rikwanto, Jumat (12/12/2014) ini, seperti dilansir dari Antara.
Rikwanto mengatakan, penyidik kepolisian memberikan "ruang" kepada pihak bersengketa untuk mediasi melalui Dewan Pers agar menemukan jalan keluar menyelesaikan kasus tersebut.
Penyidik, menurut Rikwanto, akan menghargai hasil kesepakatan untuk menyelesaikan kasus The Jakarta Post. "Jika pada akhirnya tidak ada tuntutan, kita hargai," ujar Rikwanto.
Rikwanto menambahkan, pihak The Jakarta Post telah menyampaikan permohonan maaf sebanyak dua kali penayangan. Namun, berdasarkan keterangan saksi ahli, hal itu tidak menghilangkan kasus pidananya.
Sementara itu, Meidyatama mengaku terkejut dengan status dirinya tersebut. Sebab, pihaknya justru ingin mengingatkan bahaya ISIS. Dia merasa tidak melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan.
"Sesungguhnya, yang kami lakukan adalah kerja jurnalistik yang mengkritik gerakan ISIS yang kemudian menjadi organisasi yang dilarang pemerintah," kata dia.
Menurut Meidyatama, dia bahkan sudah menerima pendapat dari Dewan Pers yang menyatakan bahwa hal ini sebenarnya hanya terkait dengan kode etik jurnalistik, yang berarti tidak termasuk tindak pidana. Karena itu, hal ini seharusnya merupakan ranah Dewan Pers.
Meski begitu, dia menghormati proses hukum yang berjalan dan akan mengikuti proses yang berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Anggota Dewan Pers yang juga Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga, Nezar Patria, menyesalkan penetapan status itu. Dilansir harian Kompas, Jumat (12/12/2014), Nezar meminta Kepala Polri Jenderal Pol Sutarman meninjau kembali status untuk Pemred The Jakarta Post itu. Sebab, selain sudah mencabut karikatur, The Jakarta Post juga sudah meminta maaf.
"Kajian kami, karikatur itu sudah dimuat di Al-Quds al-Arabi, koran di Timur Tengah," kata dia.
Dewan Pers juga telah menanggapi surat dari The Jakarta Post yang meminta pendapat terkait ditayangkannya karikatur ISIS pada edisi 3 Juli 2014. Dalam surat tertanggal 16 Juli 2014 itu, Dewan Pers menilai pemuatan karikatur itu telah melanggar kode etik jurnalistik karena mengandung prasangka yang tidak baik terhadap agama Islam.
Dewan Pers juga menyatakan bahwa The Jakarta Post telah menyampaikan permintaan maaf atas pemuatan karikatur tersebut pada 7 Juli 2014 melalui www.thejakartapost dan di halaman pertama The Jakarta Post edisi cetak 8 Juli 2014. Permintaan maaf itu dianggap sebagai penyesalan dan komitmen The Jakarta Post untuk tidak mengulang kesalahan serupa.
Dewan Pers menganggap kasus ini telah selesai secara jurnalistik dan memperingatkan The Jakarta Post agar lebih berhati-hati dan tidak mengulangi perbuatan serupa. Surat yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Bagir Manan itu juga meminta The Jakarta Post untuk menjalin komunikasi yang lebih baik dengan pihak-pihak yang merasa tidak dapat menerima pemuatan karikatur tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.