Hingga akhir triwulan I-2015, penyerapan anggaran diperkirakan baru 3 persen, antara lain untuk gaji pegawai. Padahal, idealnya 10 persen, lalu 20 persen pada triwulan kedua. Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat melihat ada hikmah di balik kisruh anggaran tiga bulan terakhir. Berikut petikan wawancara dengan Djarot di Balai Kota Jakarta, Rabu (25/3).
Berapa lama peraturan gubernur tentang APBD selesai?
Tim Kementerian Dalam Negeri sedang lembur. Paling tidak seminggu. Setelah itu langsung bisa dipakai. Kami tidak ingin berlama-lama. Harus ada APBD supaya pelayanan masyarakat dan pembangunan tak terhenti. Harus ada kepastian hukum dan SKPD (satuan kerja perangkat daerah) bisa segera mengeksekusi program. Lelang sudah jalan prosesnya. SPK (surat perintah kerja) menyusul.
Bagaimana peran Anda dalam situasi ini sebagai kader partai sekaligus wakil gubernur?
Kita harus membangun budaya pemerintahan yang baik. Jangan sampai antara kepala daerah dan wakilnya bertikai di tengah jalan, apalagi sampai pisah. Keduanya adalah satu. Hubungan dengan mitra juga harus dibangun dengan baik. Wakil gubernur harus mendukung kebijakan gubernur. Posisi saya, dulu diajukan dan dilantik oleh gubernur atas persetujuan ketua umum (PDI-P) karena saya kader partai.
Saya tak ingin di posisi yang terus-menerus pro-kontra karena tidak produktif. Korbannya tak hanya birokrasi di Pemprov DKI, tetapi juga publik.
Bagaimana proses penetapan APBD selama ini?
Saya masuk Desember 2014 saat APBD hampir selesai karena proses dimulai sejak Maret 2014. Namun, saat itu ada "turbulensi" sehingga penetapannya terlambat. Tetapi, kejadian itu memberikan hikmah. Saya baru tahu bahwa proses perencanaan dan penganggaran DKI Jakarta selama ini tidak sehat dan tidak baik. Kadang sesuai prosedur, tetapi substansinya belum. Idealnya, akhir Desember 2014 atau awal Januari 2015 sudah selesai.
Mestinya fokus. Ini kelemahan di birokrasi ataupun di dewan. Ada kebiasaan buruk birokrasi dalam penyusunan APBD, yakni copy paste, miskin inovasi, ambil anggaran tahun sebelumnya, lalu memasukkannya ke anggaran sekarang.
Legislatif seharusnya rajin juga turun ke masyarakat dan terlibat dalam proses, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, ke kecamatan, kota, hingga provinsi. Dengan demikian, dia bisa cek, apakah aspirasi masyarakat atau konstituennya masuk atau tidak. Eksekutif juga harus demikian sehingga tidak saling menyalahkan. Ini demi menghindari anggaran (ter)duplikasi dan mubazir.
Apa pelajaran dari situasi tiga bulan ini?
Penetapan pergub (sebagai dasar APBD tahun ini) adalah berkah. Diharapkan, proses penganggaran lebih baik dan sehat. Kami konsentrasi ke tahun 2016. Kasus tahun 2015 sudah terjadi, dan mari kita kawal. Tahun depan harus lebih baik prosesnya. APBD DKI ini besar sekali. Jika dibiarkan terus seperti yang selama ini terjadi, banyak infrastruktur yang tak terbangun. Kini ada sekitar 40 persen bangunan sekolah yang butuh perbaikan, tetapi di sisi lain ada bangunan baru tetapi tidak berfungsi atau sebenarnya tak dibutuhkan masyarakat. Terminal Pulogebang bisa jadi contoh. Biaya pembangunannya ratusan miliar rupiah, tetapi sampai sekarang belum berfungsi.
Bagaimana pendapat Anda terkait e-budgeting?
E-budgeting itu hanya alat (tool) untuk evaluasi dan mengawasi anggaran. Selain pengawasan, alat ini diharapkan memperbaiki mutu isinya, sesuai prioritas atau tidak, tepat sasaran atau tidak, dan efektif atau tidak. Kita butuh alat itu karena mata anggaran di APBD DKI Jakarta mencapai puluhan ribu item. Teknologi memudahkan kita menelisiknya.