Petasan tersebut bukan tipe murahan. Dari penelusuran Mangara, harga satu petasan tersebut bisa mencapai Rp 300.000. "Itu dibunyiin, terus terjadi tawuran. Dan mercon itu yang menghantam tangan Pak Kapolsek Johar Baru (saat melerai tawuran)," kata Mangara.
Mangara pun tak tahu dari mana asal petasan tersebut. Apalagi jika melihat kondisi masyarakat di Johar Baru yang dinilai kurang memungkinkan untuk membeli petasan dengan jumlah cukup banyak. "Karena di sana, mohon maaf, tingkat ekonomi masyarakat di Johar Baru berada di menengah ke bawah," ucap Mangara.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Sektor Johar Baru Komisaris Wiyono membenarkan perihal tangannya yang terkena petasan saat melerai tawuran di Johar Baru. Wiyono menceritakan peristiwa tersebut terjadi pada 18 Agustus 2015 silam.
"Kita bersama anggota melerai dari jembatan besi ke kanan, kita dorong sudah mundur. Ternyata dari sebelah kiri Kampung Rawa malah ngikut dari belakang."
"Ternyata dari Tanah Tinggi makin nyerang lagi. Ada beberapa petasan yang besar, salah satunya kena tangan saya," kata Wiyono.
Setelah peristiwa tersebut, Wiyono menemukan sebuah kardus yang dijadikan tempat menaruh petasan. Ia pun bertanya perihal kardus tersebut kepada para pemuda yang terlibat tawuran.
"Mereka bilang petasan tersebut ditaruh oleh seseorang kalau terjadi tawuran. Jadi orang yang tawuran itu langsung mengambil untuk digunakan. Jadi tidak dari rumahnya. Tidak tahu siapa yang naruh," kata Wiyono.
Sementara itu, Wakil Kepala Kepolisian Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Roma Hutajulu, dalam beberapa kesempatan, menyebut adanya sekelompok orang yang masuk ke pemukiman pada penduduk dengan sepeda motor. Mereka memprovokasi warga untuk bentrok.
"Kira-kira, ada lima sepeda motor dengan sepuluh orang langsung masuk ke lingkungan sekitar dan langsung memberikan tanda untuk mengarahkan ke mercon sebelahnya."
"Setelah itu pihak dari kampung sebelah berpikir dan dijawab kampung sebelah dengan mercon lagi," kata Roma.
Tak ada yang tahu dari mana asal dan maksud petasan tersebut. Sampai saat ini polisi pun masih menyelidiki temuan tersebut.
Transformasi
Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo mengatakan adanya tanda berupa petasan sebelum tawuran merupakan bagian hal paling ujung. Yang terpenting yakni perihal pemetaan masalah tawuran sebenarnya.
"Setiap tempat itu ada kelompok-kelompok. Kalau secara negatif melabel, mereka adalah geng. Tapi sebetulnya mereka adalah kelompok anak muda yang secara wajar mau melakukan aktivitas," kata Imam di Jakarta, Rabu petang.
Secara konkret, mereka tak mampu merumuskan sendiri kemauannya. Apalagi sampai bisa terfasilitasi oleh pemerintah.
"Orang-orang seperti ini, tidak ada kegiatan, tidak ada ruang publik, akhirnya terjadi (tawuran). Apalagi wilayah ini padat penduduk, begitu banyak sekali pengangguran."
"Bisa saja orang memanfaatkan, jualan narkoba tadi. Bisa saja orang mencari keributan karena kepengapan," kata Imam.
Imam melanjutkan, setiap kelompok pasti memiliki pemimpin atau biasa disebut pentolan. Untuk itu, pentolan tersebut dinilai penting agar bisa mencegah tawuran dengan mentransformasikan kelompok secara bersama.
"Satu orang berubah belum tentu saat dia sosialisasi ke gengnya itu berubah. Oleh karena itu kita butuh transformasi kelompok. Setelah itu kita butuh transformasi antara kelompok," jelas Imam.
Dekat
Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo meyakini persoalan tawuran dapat terpecahkan lewat empat langkah, yakni kompak, dekat, fasilitasi, dan organisasi.
Kompak, misalnya, harus bisa berkomitmen untuk berubah. "Kalau kita ngomong, mereka merasa gak dilibati. Ketika mereka didekati, ternyata mereka kepengen main musik, seni dan mural," kata Paulus.
Bagian pendekatan tersebut harus disertai upaya memfasilitasi gagasan mereka. Sehingga, hal ini dapat berjalan dengan baik dalam pencegahan tawuran. "Setelah mereka dekat, maka kita bentuk organisasi. Maka akan bertahan," tegas Paulus.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian menyambut baik ide gagasan para pakar tersebut. Menurut jenderal bintang dua ini polisi harus bisa melakukan langkah pro aktif daripada represif semata.
"Perlu mendalami akar masalah tersebut. Bahkan sampai pada titik terkecil, yakni orang-orang dalam kelompok tersebut, misalnya tokoh kunci," kata Tito.