Dari beberapa pengalaman, per bulan mereka dapat mengantongi uang sebesar Rp 4 juta sampai dengan Rp 8 juta. Penghasilan tersebut tentu menggiurkan dan membuat orang beralih profesi atau sekadar menjadikan sebagai pekerjaan sampingan.
Rekrutmen pun dibuka secara besar-besara. Ribuan pendaftar mengantri untuk mendapatkan peluang bergabung dengan ojek berbasis aplikasi ini.
Kini, Go-Jek atau pun ojek berbasis aplikasi lainnya tak lagi menyasar ojek pangkalan untuk bergabung. Terbukti, banyak sarjana ikut daftar dalam rekrutmen pengemudi Go-Jek.
Dari fakta di lapangan, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian meminta ojek berbasis aplikasi tidak terlalu ekspansif. Sebab, sampai saat ini, sepeda motor belum dilegalkan sebagai angkutan umum.
"Sebenarnya, kita harapkan teman-teman mengikuti aturan. Jangan terlalu ekspansif seperti ini," kata Tito di Jakarta, Jumat (18/9/2015).
Konflik internal
Kini, Go-Jek mendapati problematika baru. Para pengemudi mulai resah dengan manajemen Go-Jek yang dianggap membuat kebijakan tak menguntungkan.
Sistem pembagian 80 persen untuk pengemudi dan 20 persen untuk manajemen tak lagi diterapkan. Mengingat, Go-Jek mulai menurunkan tarif dari Rp 4.000 per kilometer menjadi Rp 3.000 per kilometer.
Menanggapi hal tersebut, pengemudi Go-Jek mulai turun ke jalan. Mereka melakukan aksi sweeping untuk mogok kerja.
"Ada penurunan tarif dari Rp 4.000 per kilometer menjadi Rp 3.000 per kilometer. Mulai hari ini penurunannya. Jadi kan kami dapatnya sedikit tuh. Itu pada protes semua," ujar pengemudi Go-Jek bernama Ope, Senin (2/11/2015) di Stasiun Palmerah.