Ayat (3) Pasal 41 itu menyebutkan, "Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi kartu tanda penduduk elektronik, kartu keluarga, paspor, dan atau identitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Ayat (4) menegaskan, "Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan calon perseorangan."
Perhatikan huruf tebal "1 (satu) pasangan" yang seharusnya menjadi perhatian Ahok dengan Teman Ahoknya itu, bahwa dukungan KTP itu diberikan kepada satu pasangan, bukan untuk calon gubernur sendiri atau wakil gubernur sendiri, kecuali ada penafsiran lain dari bunyi ayat (4) Pasal 41 undang-undang tersebut.
Disebut pasangan, artinya harus untuk calon gubernur beserta wakil gubernur sekaligus. Pertanyaan paling mendasar, apakah Ahok sudah memiliki pasangannya sebagai calon wakil gubernur?
Jika jawabannya "belum"—dan kenyataannya memang belum punya calon wakil gubernurnya— maka sudah dapat dipastikan pengumpulan KTP sebanyak persyaratan untuk calon gubenur saja belum terpenuhi dan karenanya harus diulang kembali.
Solusinya, Ahok harus segera memilih calon wakil gubenur yang akan mendampinginya, baru kemudian bergerilya kembali mengumpulkan fotokopi KTP DKI Jakarta minimal sebanyak yang disyaratkan undang-undang.
Harap dicatat, bahwa fotokopi satu KTP berlaku untuk satu pasangan, bukan untuk Ahok sendirian!
Pernyataan Yusril bahwa hal itu diatur oleh peraturan KPU sesungguhnya bisa diabaikan. Sebab, ada atau tidak ada aturan KPU itu, undang-undang yang kedudukannya lebih tinggi dari aturan KPU telah mensyaratkannya demikian.
Apakah kemudian Teman Ahok yakin mampu memenuhi persyaratan ini, yakni satu KTP untuk pasangan dan bukan hanya untuk Ahok semata yang sudah telanjur dikumpulkan?
Bagus juga kalau mampu mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak 750.000 atau 1 juta atau minimal 523.000 sebagaimana disyaratkan untuk pasangan calon gubernur dalam sisa waktu terbatas pada saat calon wakil gubernurnya belum diputuskan.
Kalau memang optimistis mampu melakukannya, Ahok harus didorong segera memilih calon wakilnya. Kalau tidak mampu, menghadap ke kamera dan lambaikan tangan segera pertanda menyerah mengingat proses pengumupulan KTP itu bukan hal yang mudah.
Kalau mau terus maju sebagai calon petahana pada saat persyaratan KTP untuk pasangan calon tidak terpenuhi, Ahok terpaksa harus berpaling kepada partai politik yang bakal menjadi tandu untuk mengusungnya sebagai kandidat petahana gubernur DKI Jakarta. Sejauh ini, memang ada beberapa parpol yang rela dan bersedia menjadi tandu bagi Ahok.
Sudah selayaknya Ahok pun tidak terlalu "nyinyir" atau menunjukkan sikap "antipati" terhadap parpol yang terang-terangan bersedia menyediakan bahu untuk menandunya. Jika terlambat, salah-salah Ahoklah yang harus mengejar kendaraan politik yang akan menuju arena Pilkada DKI mendatang.
Untuk itu, sudah sepantasnyalah Ahok mendengar apa kata Yusril. Jangan melihatnya sebagai pesaing, pandanglah kapasitasnya sebagai pakar hukum tata negara yang sudah berbaik hati mengingatkannya sejak dini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.