Dikatakan Dja'is, lahirnya taksi gelap hanyalah satu gejala sosial yang timbul karena ekonomi yang masih serba kurang. Sama halnya dengan timbulnya berpuluh-puluh pedagang rokok dan penjual bensin campuran di tepi jalan.
"Dan, suatu gejala sosial tentu harus ditanggulangi dengan perubahan-perubahan sosial, bukan dengan menambah lagi satu peraturan pemerintah, bukan?" ujar Dja'is.
Ditambahkan Dja'is, hampir 100 persen dari pemilik taksi gelap adalah orang-orang yang justru tidak pandai dagang dan tidak pandai korupsi! "Kami terpaksa melakukannya karena tidak ada alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan," tulis Dja'is.
Konsumen pilih taksi murah....ga peduli gelap ato terang https://t.co/91IS8tEqQ4
— wong-ndeso (@sulistiyatmojo) March 22, 2016
Kebijakan negara2 terkait taksi berbasis aplikasi pic.twitter.com/TC82et6IWV
— Seseq (@sheque) March 23, 2016
Luar biasa. Lebih dari 45 tahun lalu telah ada seorang warga Jakarta yang telah menuliskan pendapatnya tentang keberadaan taksi gelap, atau taksi yang tidak terdaftar di pemerintah. Opininya bahkan ditampilkan di dalam forum surat kabar untuk didiskusikan oleh warga kota.
Peningkatan pelayanan
Di sisi lain, taksi-taksi resmi juga berupaya meningkatkan pelayanan supaya ada pembeda dengan taksi-taksi gelap yang dikatakan sering berkeliaran dengan tarif yang bermacam-macam.
Metro Taxi, misalnya, menampilkan citra eksklusif dengan mengatakan, "pemakai terbanjak adalah pedagang asing. Kebanjakan sopirnja masih budjang".
Metro Taxi, yang merupakan akronim dari Metropolitan-Taxi, ini pun mulai didirikan sejak September 1968 untuk mendampingi Jakarta menuju kota metropolitan sesungguhnya, seperti Singapura, Tokyo, Manila, dan kota-kota lain.
Pada akhir 1970, Metro Taxi diperkuat oleh 65 mobil, yakni 50 unit Dodge Valiant dan 15 Mercedes 1800. Jelas Metro Taxi dipersenjatai oleh mobil-mobil dari pabrikan terkemuka.
Namun, Metro Taxi juga mengajak para pemilik kendaraan pelat hitam untuk bergabung dengan manajemen Metro Taxi. Sebanyak 80 persen dari seluruh pendapatan nantinya dapat dikantongi oleh pemilik kendaraan.
Taksi di Jakarta baru mulai dilengkapi dengan argometer (taksi-meter) pada Kamis, 10 Februari 1972, melalui 50 taksi yang dioperasikan oleh PT Morante Djaya. Kompas pun merayakannya dengan menurunkan berita tentang inovasi pelayanan itu di halaman pertama.
Setelah dicoba, ternyata sistem argo lebih murah. Tarif taksi argo dari Kantor DLLAJR di Tanah Abang Barat ke Bandara Kemayoran sebesar Rp 350. Tarif taksi argo dari Kemayoran ke Hotel Indonesia sebesar Rp 420.
Bandingkan dengan tarif taksi "jam-jaman" yang umumnya memasang tarif Rp 400 per jam dengan pemakaian paling sedikit dua jam. Pemprov DKI Jakarta waktu itu menentukan tarif mulai jalan (begitu naik taksi) Rp 80 kemudian taksi-meternya menunjukkan tambahan Rp 10 setiap 200 meter.
Kisah taksi
Taksi dan aneka macam kisah di baliknya ternyata menarik perhatian wartawan-wartawan Kompas tempo dulu. Pada Maret 1972, wartawan Kompas Azkarmin Zaini pernah menulis secara berseri artikel dengan judul "Mentjoba Naik Taksi di Djakarta".