Uber, misalnya, sempat terlebih dahulu dioperasikan di 60 negara. Jadi, gelombang angkutan berbasis aplikasi harusnya sudah dapat diprediksi akan singgah di Indonesia dalam hitungan bulan.
Dunia kini makin "datar" sehingga inovasi di belahan bumi lain dapat saja diserap dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kreativitas berlandaskan teknologi digital, kata Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Joseph Pesik, pasti melahirkan gangguan pada kemapanan.
"Terobosan hasil kreativitas di bidang teknologi digital diperkirakan akan lahir terus-menerus di negara mana pun. Filosofi atau ide dasar pengembangan kreativitas ini memang ingin menantang atau bertentangan dengan kondisi dan situasi yang ada," kata Ricky.
Menurut Ricky, jika pemerintah terlambat mengubah regulasi untuk adaptasi teknologi baru, gejolak sosial akan muncul.
"Adaptasi itu bisa dan harus dilakukan. Singapura dan Filipina baru-baru ini mengembangkan adaptasi regulasi yang berbasis perubahan teknologi digital," ujarnya.
Namun, kini, setelah unjuk rasa terjadi, berita utama Kompas, Kamis (24/3/2016), mengangkat berita bahwa pemerintah masih memberlakukan masa transisi bagi angkutan berbasis aplikasi.
Selama masa transisi, angkutan tersebut dalam posisi status quo, yakni diizinkan tetap beroperasi dengan armada yang ada tetapi dilarang menambah armada.
Meski demikian, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sugihardjo mengatakan, masa transisi itu belum ditentukan jangka waktunya.
Penentuan durasi masa transisi baru akan diputuskan pada Kamis ini.
Selama masa transisi, kata Sugihardjo, angkutan berbasis aplikasi, yakni Grabcar dan Uber, harus mengurus berbagai prasyarat untuk memperoleh izin beroperasi di Indonesia.
Dua layanan angkutan aplikasi itu, kata Sugihardjo, juga memilih menjadi penyedia teknologi informasi (IT provider) sehingga mereka akan bekerja sama dengan operator yang telah memiliki izin resmi sebagai angkutan umum.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah pun mengatakan, Pemprov DKI Jakarta mendorong pengelola Uber dan Grabcar mengurus perizinan usaha. Jadi, angkutan berbasis aplikasi itu tetap harus melegalkan usahanya.
Harus seragam
Walau perizinan untuk usaha taksi diterbitkan oleh tiap pemerintah daerah, tetapi ada baiknya pemerintah pusat kini memikirkan pedoman umum untuk dijalankan di daerah.
Jangan sampai tiap daerah menafsirkan sendiri kehadiran angkutan berbasis aplikasi sehingga ada daerah yang memperbolehkan ada pula yang menolaknya.
Kini di Bali, misalnya, angkutan berbasis aplikasi Uber masih dilarang mengoperasikan taksinya di Bali sebelum memenuhi persyaratan dan aspek legalitas sebagai perusahaan transportasi.
Di sisi lain, Grab dibolehkan beroperasi sambil menunggu peraturan pemerintah atau keputusan Menteri Perhubungan mengenai layanan angkutan berbasis aplikasi.
"Muncul penolakan dari kalangan sopir taksi terhadap taksi online itu. Sementara di sisi lain, ada pengusaha angkutan, yang bergabung dalam layanan online itu," kata Kepala Bidang Perhubungan Darat Dinas Perhubungan Kominfo Bali Standly Suwandhi.
Kondisi demikian sungguh membingungkan bagi pengusaha angkutan.