Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Bolehkah Ahok Menggusur?

Kompas.com - 13/04/2016, 14:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Di dekat rumah mertua saya di kawasan Setiabudi, di dekat gedung Bank Ekonomi, ada sejumlah gubuk bedeng yang dibangun di atas bahu jalan. Di atas bahu jalan selebar 1 meter itu dibangun bedeng, panjangnya kira-kira 2 meter setiap satu bedeng, di kedua sisi jalan.

Penghuninya sekedar tinggal di situ, ada juga yang berjualan pulsa, atau buka bengkel. Jalan yang seharusnya cukup untuk dilalui 2 kendaraan jadi sempit dan hanya bisa dilalui oleh 1 kendaraan mobil. Kalau berpapasan harus repot mundur dulu, mencari tempat meminggir agar bisa bergantian lewat.

Ini adalah pencurian yang nyata terhadap hak-hak publik. Bagi saya mereka layak digusur, kalau perlu dihukum dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum.

Tapi apa yang terjadi kalau mereka digusur? Akan muncul pahlawan-pahlawan kesiangan yang mengecam. Tak manusiawi, kata mereka.

Manusiawi? Apakah manusiawi membiarkan orang-orang tinggal di bedeng berukuran 2 kali 1 meter? Maaf, bagi saya tempat itu tak layak dihuni manusia. Membiarkan mereka tinggal di situ juga tidak manusiawi.

Jadi, apa yang harus dilakukan? Gusur saja. Syukur-syukur kalau disediakan rumah pengganti seperti rumah susun.

Bagaimana dengan mata pencarian? Kalau mau dagang, mereka harus sewa lapak. Tidak sanggup? Ah, masa. Embok-embok di pasar banyak yang sanggup bayar sewa lapak, kok. Jangan-jangan biaya rokok mereka justru lebih besar dari uang sewa lapak.

Tidak empati sama rakyat kecil? Hehehehe. Emak saya buta huruf, ayah saya cuma kelas 2 SR. Saat memulai hidup, hartanya cuma 2 batang parang, dan 2 kapak. Kurang kecil apa mereka sebagai rakyat.

Emak saya menebang pohon, menerobos rimba, membuka lahan pertanian, bersama Ayah. Lima tahun kemudian mereka bebas dari kemiskinan, setelah kelapa berbuah.

Ada puluhan ribu, ratusan ribu, atau mungkin jutaan manusia yang seperti mereka. Bersama Emak dan Ayah, ada orang-orang Jawa yang pindah ke pelosok terpencil pesisir pulau Kalimantan. Mereka berangkat sendiri, tanpa dibiayai pemerintah.

 Sama, dalam waktu 5 tahun mereka bebas dari kemiskinan, bahkan tak lama setelah itu mereka jadi petani kelapa yang makmur. Kemudian datang lagi orang-orang lain berbondong-bondong, sampai membentuk 2 kampung. Mereka juga kemudian menjadi petani-petani kaya.

Pernahkah Emak dan Ayah meminta bantuan pemerintah? Tidak. Pernahkah mereka dibantu pemerintah? Secara langsung tidak. Pernahkah mereka mengeluhkan pemerintah? Tidak.

Saya berempati pada rakyat kecil, karena saya pernah jadi rakyat kecil. Pada usia 10 tahun, kelas 5 SD sambil sekolah saya sudah bekerja di kebun, menebas rumput. Sesekali saya berjualan es. Itu semua ajaran dari Emak dan Ayah. Intinya? Bekerja! Tanganmu sendiri yang akan mengubah nasibmu, kata Emak.

Kompas.com/David Oliver Purba Puluhan warga Pasar Ikan terpaksa tinggal di perahu nelayan. Kebanyakan warga berprofesi sebagai nelayan.
Di kota pun hukumnya sama. Mau berhenti jadi orang miskin, kerja! Saya percaya pada prinsip Emak, bahwa kemiskinan itu sebagian besar dimulai dari pola pikir. Saya bisa katakan bahwa orang-orang yang menempati bedeng-bedeng itu punya masalah dalam hal pola pikir.

Bagaimana memanusiakan manusia? Kembalikan mereka kepada harkat sebagai manusia. Manusia hidup harus bekerja. Hewan saja harus bekerja untuk dapat makan, toh?

Jadi memanusiakan orang-orang itu adalah dengan menjauhkan mereka dari pola hidup tidak manusiawi seperti tinggal di bedeng tadi, dan mendorong mereka untuk mandiri, bukan dengan terus menerus memanjakan mereka. Sesekali dorongan keras itu diperlukan.

Kembali ke soal penggusuran, yang memang ilegal dan mengganggu, gusur saja. Itu hal dasar. Bahwa mereka dibantu, itu tambahan saja sifatnya.

Bagaimana dengan soal kampung-kampung yang digusur Ahok? Prinsipnya sama. Kalau mereka menempati tanah secara ilegal, gusur saja. Tapi kalau mereka punya bukti kepemilikan yang sah, tidak boleh asal gusur.

Bagaimana dengan Kampung Luar Batang? Prinsip saya sama. Kalau penduduk ilegal, gusur saja. Yang punya sertifikat berhak atas ganti rugi yang pantas. Kalau tidak diberi, itu namanya zalim.

Nah, detil soal Kampung Luar Batang, saya tidak tahu. Kalau Ahok menggusur orang yang tinggal di sana secara sah, Ahok zalim. Di luar itu, sah!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polisi Dalami Peran Belasan Saksi Dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP yang Dianiaya Senior

Polisi Dalami Peran Belasan Saksi Dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP yang Dianiaya Senior

Megapolitan
Kepada Kapolres Jaktim, Warga Klender Keluhkan Aksi Lempar Petasan dan Tawuran

Kepada Kapolres Jaktim, Warga Klender Keluhkan Aksi Lempar Petasan dan Tawuran

Megapolitan
Belasan Taruna Jadi Saksi dalam Prarekonstruksi Kasus Tewasnya Junior STIP

Belasan Taruna Jadi Saksi dalam Prarekonstruksi Kasus Tewasnya Junior STIP

Megapolitan
Polisi Tangkap Lebih dari 1 Orang Terkait Pengeroyokan Mahasiswa di Tangsel

Polisi Tangkap Lebih dari 1 Orang Terkait Pengeroyokan Mahasiswa di Tangsel

Megapolitan
RTH Tubagus Angke Dirapikan, Pedagang Minuman Harap Bisa Tetap Mangkal

RTH Tubagus Angke Dirapikan, Pedagang Minuman Harap Bisa Tetap Mangkal

Megapolitan
Prarekonstruksi Kasus Penganiayaan Taruna STIP Digelar hingga 4 Jam

Prarekonstruksi Kasus Penganiayaan Taruna STIP Digelar hingga 4 Jam

Megapolitan
Masih Bonyok, Maling Motor di Tebet Belum Bisa Diperiksa Polisi

Masih Bonyok, Maling Motor di Tebet Belum Bisa Diperiksa Polisi

Megapolitan
Cegah Prostitusi, RTH Tubagus Angke Kini Dipasangi Lampu Sorot

Cegah Prostitusi, RTH Tubagus Angke Kini Dipasangi Lampu Sorot

Megapolitan
Balita yang Jasadnya Ditemukan di Selokan Matraman Tewas karena Terperosok dan Terbawa Arus

Balita yang Jasadnya Ditemukan di Selokan Matraman Tewas karena Terperosok dan Terbawa Arus

Megapolitan
PDI-P Buka Penjaringan Cagub dan Cawagub Jakarta hingga 20 Mei 2024

PDI-P Buka Penjaringan Cagub dan Cawagub Jakarta hingga 20 Mei 2024

Megapolitan
Kuota Haji Kota Tangsel Capai 1.242 Jemaah, Pemberangkatan Dibagi 2 Gelombang

Kuota Haji Kota Tangsel Capai 1.242 Jemaah, Pemberangkatan Dibagi 2 Gelombang

Megapolitan
Paniknya Mahasiswa di Tangsel, Kontrakan Digeruduk Warga saat Sedang Beribadah

Paniknya Mahasiswa di Tangsel, Kontrakan Digeruduk Warga saat Sedang Beribadah

Megapolitan
Jasad Balita Tersangkut di Selokan Matraman, Orangtua Sempat Lapor Kehilangan

Jasad Balita Tersangkut di Selokan Matraman, Orangtua Sempat Lapor Kehilangan

Megapolitan
Jasad Balita di Matraman Ditemukan Warga Saat Bersihkan Selokan, Ternyata Sudah 3 Hari Hilang

Jasad Balita di Matraman Ditemukan Warga Saat Bersihkan Selokan, Ternyata Sudah 3 Hari Hilang

Megapolitan
Polisi Ungkap Penyebab Mahasiswa di Tangsel Bertikai dengan Warga Saat Beribadah

Polisi Ungkap Penyebab Mahasiswa di Tangsel Bertikai dengan Warga Saat Beribadah

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com