KOMPAS.com - Pasir itu terasa halus di telapak kaki. Di beberapa bagian, tumpukan pasir ambles saat dipijak.
Ombak kecil datang seirama. Di kejauhan, alat berat dan kontainer-kontainer berjejeran. Inilah salah satu pulau reklamasi itu. Dan, ratusan nelayan yang menjejakkan kaki di pulau itu pun menyegelnya.
Minggu (17/4) bukan hari biasa di Muara Angke. Sejak pukul 08.00, ratusan warga, juga nelayan, berkumpul di dermaga pelabuhan.
Tidak hanya pria, ibu-ibu beserta anak mereka ikut. Sekitar 100 kapal berbaris di dermaga, sementara sisanya bersiap di perairan Muara Angke.
Mereka berencana menyegel pulau reklamasi yang telah terbentang di depan tempat tinggal mereka.
Sejam setelahnya, kapal-kapal berangkat ke pulau yang berjarak sekitar 300 meter dari bibir dermaga.
Pulau ini, berdasarkan nama yang diberikan pemerintah, disebut Pulau G. Bagi pengembang, pulau seluas 161 hektare ini disebut Pluit City.
Kapal-kapal beraneka bentuk, warna, dan ukuran merapat ke bibir pulau. Warga melompat, menjejakkan kaki untuk pertama kali ke pulau buatan itu. Spanduk dibentangkan, pulau resmi disegel nelayan.
Sutan (38) bersemangat mengikuti unjuk rasa damai ini. Dia mengajak anak dan istrinya ikut serta.
"Saya sedih, marah, juga senang. Sedih dan marah karena lihat laut diuruk, tetapi senang karena bisa datang ke pulau ini," kata ayah tiga anak ini.
Sutan menceritakan, semenjak laut yang dulunya tempat mencari kerang ini diuruk, gerak nelayan terbatas.
Nelayan tidak boleh mendekat ke lokasi pengurukan. Ada patroli yang berjaga setiap waktu, siap mengusir nelayan yang mendekat.
Tidak hanya itu, penghasilan juga sangat jauh berkurang. "Tahun ini saja kami belum pernah panen," kata Suwarti (33), istri Sutan.
Menurut Suwarti, beberapa bulan belakangan ini, dapurnya sulit mengepul. "Jika dulu suaminya bisa membawa hingga Rp 1 juta saat panen, hari ini jadi Rp 200.000," ucapnya.
Adelita, anak bungsu Suwarti-Sutan, yang baru berusia tiga tahun berlarian di atas pasir saat diturunkan.
Belasan anak lainnya yang ikut orangtua mereka sangat menikmati berada di pulau reklamasi.
Meskipun hidup berdekatan dengan laut sebagai anak nelayan, di Jakarta yang nyaris tanpa pantai publik dan pantai publik yang tersisa tak terawat, Minggu kemarin mungkin menjadi saat pertama kalinya mereka menjejak pasir pantai.
Ketua Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke Syarifudin Baso menyampaikan, reklamasi sejauh ini hanya memberikan dampak buruk terhadap nelayan.
Di satu sisi, nelayan kehilangan laut tempat mereka mencari penghidupan sehari-hari.
"Ribuan nelayan tradisional mencari ikan setiap hari di Teluk Jakarta, yang semakin hari penghasilannya semakin berkurang. Kami tidak butuh reklamasi, kami butuh laut," katanya.
Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah berlangsung beberapa tahun. Dua pulau, yang saat ini masih menyatu, telah terbangun di sisi barat Jakarta.
Pulau yang di atasnya telah berdiri ratusan bangunan ini dikembangkan oleh PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Tidak hanya itu, PT Pembangunan Jaya Ancol juga telah melakukan reklamasi Pulau K, juga PT Pelindo II dan anak perusahaannya, PT Pengembang Pelabuhan Indonesia, yang membangun Pulau N.
Riza Damanik, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, menegaskan, reklamasi bagaimanapun juga harus segera dihentikan. Dampak reklamasi telah begitu merugikan nelayan, utamanya nelayan kecil.
Setelah dihentikan, tambahnya, pemerintah perlu melakukan audit lingkungan yang menyeluruh.
Dengan begitu, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan bisa dilakukan dengan tujuan kesejahteraan nelayan. (Saiful Rijal Yunus)
----
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 April 2016, di halaman 25 dengan judul "Menjejak Laut yang Hilang".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.