Pertimbangan putusannya, diantaranya adalah karena melanggar hukum, dan tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi, hanya bisnis semata.
Reklamasi di Indonesia mendapat perlawanan sejak masa Orde Reformasi terjadi. Kegiatan menguruk daratan di atas laut yang dilakukan pengembang berkongsi dengan pemerintah daerah ini dinilai merusak, mulai dari alasan lingkungan hingga alasan ekonomi dan demografi. Alasan yang mungkin saja ada benarnya.
Di Teluk Benoa, Bali misalnya, alasan lingkungan lebih kental. Dan yang menarik, alasan reklamasi teluk itu dari pihak pemda dan pengusaha juga sama, berlatar meremajakan atau melestarikan lingkungan.
Tapi yang lebih monumental polemiknya, jelas reklamasi yang terjadi di ibukota negara, Jakarta. Mulai dari alasan prosedur hukum sampai demografi, sudah bisa dijabarkan mengapa lebih baik, reklamasi didiskusikan lebih dulu dengan pemerintah pusat yang bisa mengajak masyarakat sekitar yang terdampak reklamasi. Siapa mereka? Para nelayan.
Di Jepang, nelayan mendapat prioritas dalam hidup di negerinya. Produk nelayan dan petani jadi unggulan. Paling tidak begitu kata nelayan dalam asosiasi nelayan yang saya temui.
Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe sekarang sibuk putar otak agar kualitas dan pemasaran produk dari laut dan pegunungan tetap unggul di pasar dunia (saya jadi ingat cerita di buku karangan Tetsuko Kuroyanagi, “Toto Chan”).
Di Jepang hampir satu decade terakhir, berbagai insentif diberikan agar anak muda pun mau jadi nelayan dan petani. Sebab pesaing mereka pun saat ini berusia lebih muda. Belum lagi tantangan mereka menghadapi Trans Pacific Partnership, mega koalisi perdagangan dunia. Nah, yang soal TPP ini, para nelayan Jepang terbelah pendapatnya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Nelayan dan petani hidup segan. Entah di mana salahnya sehingga para petani dan nelayan masih begitu-begitu saja kehidupannya. Malah cenderung kehilangan lahan. Padahal kita punya banyak slogan yang mengedepankan kehidupan bernuansa laut, juga pertanian.
Tak perlu disebut semuanya, tapi saya masih ingat lagu masa saya masih TK hingga SD, “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, tentang bagaimana leluhur bangsa Indonesia berjaya di laut. Sedikit beruntung bagi nelayan, karena kini ada menteri Susi Pudjiastuti yang bisa diajak ngobrol untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Menteri perikanan ini juga yang sebetulnya, jauh-jauh hari ketika belum ramai kontroversi di media massa, sudah mempertanyakan soal reklamasi. Menurut saya ibu menteri “agak nakal”, karena lain sikap dengan pemimpin daerah dan pengembang yang jadi mitra pemda untuk membangun pulau buatan.
Balik lagi ke putusan PTUN. Lalu, setelah menang di pengadilan, apakah otomatis reklamasi berhenti? Belum tentu.
Meski soal lingkungan dan keselamatan daratan, jadi salah satu pertimbangan hakim, tapi selama tak ada win win solution rasanya sulit melihat ada ketegasan hukum apalagi pemerintah pusat di sana. Soalnya, ada nilai ekonomi yang dipertaruhkan dan nilai bahwa saya benar dalam mengambil keputusan.
Gubernur DKI juga langsung bereaksi membangun argumentasi bahwa reklamasi masih bisa dilakukan, dan Badan Usaha Milik Daerah yang akan meneruskan. Kelihatannya, ini bisa jadi solusi, karena negara dilibatkan untuk membangun di atas tanah reklamasi.
Ini bisa jadi solusi bagus membuka ruang paling tidak buat warga bersuara, karena asumsinya, kalau negara yang ambil peran persoalan kapling atau zonasi pemukiman bisa diatur, dan lahan cari makan penduduk sekitar bisa juga dibagi.
Karena di semua negeri yang disebutkan di atas, Korea Selatan, Singapura, Jepang, Tiongkok, semua pembangunan di atas pulau reklamasi untuk kepentingan bangsa. Meski dibangun swasta, tapi pengelolaannya oleh negara.