Oleh: Amanda Putri N
Lima bulan setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya tanggal 25 Januari 1946, Mayor Daan Mogot memimpin misi melucuti senjata tentara Jepang yang ada di Lengkong, Serpong, secara damai. Namun, naas, saat tiba di markas Jepang, pasukan dari Akademi Militer Tangerang tewas dalam pertempuran yang tidak seimbang.
Tercatat 34 prajurit muda dan 3 perwira Tentara Republik Indonesia tewas saat itu, termasuk Daan Mogot. Mereka tewas di usia muda, 16-24 tahun. Sebagian prajurit luka berat dan sebagian yang tidak dapat melarikan diri ditawan Jepang.
Nama Daan Mogot kini diabadikan menjadi nama jalan yang membentang dari Grogol, Jakarta Barat, hingga Kota Tangerang. Bersama Daan Mogot, dua perwira gugur, yaitu Letnan Satu Soebianto Djojohadikusumo dan Letnan Satu Sutopo.
Masih tersisa markas Jepang di Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, yang kini dibangun monumen Palagan Lengkong. Kompleks itu terdiri dari satu rumah utama dengan bangunan tambahan di belakang yang merupakan pos penjagaan plus satu sumur tua yang kini ditutup.
Di tempat itu, 70 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Jumat, 25 Januari 1946, selepas shalat Jumat, taruna Akademi Militer (Akmil) Tangerang yang baru memulai pendidikan pada 18 November 1945 sangat antusias dan bersemangat menjalankan tugas perlucutan senjata. Mereka menemui Kapten Abe, pemimpin tentara Jepang di Lengkong, yang saat itu belum kooperatif.
Sekitar pukul 16.00, pasukan tiba di markas Jepang yang berada di tengah kebun karet. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan Taruna Alex Sajoeti bersama beberapa tentara memasuki kantor Kapten Abe. Di dalam markas, Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Sementara taruna mulai mengumpulkan senjata di luar ruang perundingan.
Tiba-tiba terdengar letusan senjata, disusul rentetan tembakan dari pos-pos tersembunyi, yang mengarah ke taruna yang terjebak. Sebagian serdadu Jepang yang sebelumnya sudah menyerahkan senjata kembali merebut senjata mereka. Daan Mogot segera berlari keluar dan berusaha menghentikan pertempuran, tetapi gagal.
Dalam waktu sangat singkat, terjadi pertempuran yang sangat tidak seimbang. Pihak Jepang lebih unggul dari sisi persenjataan ketimbang pihak Indonesia. Korban pun berjatuhan.
Setelah kejadian itu, komunikasi dilakukan pihak Indonesia dengan Jepang, dan menghasilkan beberapa kesepakatan. Kesepakatan itu di antaranya jenazah yang sudah dimakamkan bersama di Lengkong dipindahkan dan dimakamkan dengan upacara resmi di Taman Makam Pahlawan Taruna Tangerang. Tawanan dibebaskan dan dipulangkan ke Tangerang. Sementara semua persenjataan dan amunisi dikembalikan kepada pihak Indonesia.
MA Tangerang
Ketua Harian Yayasan 25 Januari 1946 Rani D Sutrisno mengatakan, pemuda yang gugur di Lengkong itu adalah taruna muda yang baru saja masuk Akmil (lebih dikenal dengan Militaire Academie/MA) Tangerang.
MA Tangerang didirikan mantan Shondancho yang mulai memikirkan sistem pendidikan militer pasca kemerdekaan. Karena Jakarta dikuasai tentara sekutu dan NICA, dipilihlah Tangerang. Akademi yang dipimpin Daan Mogot sebagai direktur ini berdiri di bawah komando Resimen IV TKR di Tangerang.
Mulailah Akmil Tangerang membuka pendaftaran bagi pemuda usia 18 tahun sampai 25 tahun yang memiliki kemauan sungguh-sungguh untuk mempertahankan Indonesia tetap merdeka. Meski syarat calon siswa minimal 18 tahun, pada kenyataannya banyak yang usianya kurang dari itu ikut mendaftar.
”Betapa saat itu pemuda memiliki semangat membara untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka yang masih berusia 16 tahun atau 17 tahun ikut mendaftar. Sujono, salah seorang taruna yang tewas di Lengkong, usianya masih 16 tahun,” kata Rani yang merupakan putri dari salah satu perwira saat itu, Letnan Sutrisno.
Sejak kecil, Rani banyak mendengar peristiwa Lengkong dari ayah dan teman-teman ayahnya. Rani pun mengumpulkan cerita tentang peristiwa Lengkong dari saksi hidup dan menyusunnya menjadi buku Lengkong 1946. Kini, sebagian besar saksi sejarah sudah tiada.
Meski sampai sekarang jauh dari hiruk-pikuk keramaian, peristiwa Lengkong tetap diperingati yayasan ini setiap tanggal 25 Januari dengan upacara yang dihadiri veteran.
Untuk mengenang peristiwa itu, dibangunlah Monumen Palagan Lengkong di Jalan Bukit Golf Utara, BSD City. Letaknya tepat di pinggir jalan sebelah kiri arah menuju Damai Indah Golf. Sayangnya, monumen ini tersembunyi dan tak ada petunjuk apa pun. Dari luar hanya terlihat tulisan ”Taman Daan Mogot” di depan rumah bekas markas Jepang. Tulisan ini pun tertutup pepohonan.
Monumen dibangun membelakangi jalan sehingga tidak tampak dari jalan. Di dinding monumen tercantum sejarah singkat peristiwa Lengkong, juga nama tiga perwira dan 34 taruna Akmil Tangerang yang gugur dalam peristiwa itu. Pada dinding itu juga diukir lagu ”Pahlawan Lengkong” yang diciptakan pada Maret 1946.
Kompleks monumen yang dibangun pada 26 januari 1967 oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang itu terawat, tetapi tidak selalu dijaga sehingga sulit bagi pengunjung yang ingin mengetahui lebih lanjut soal peristiwa Lengkong, termasuk ada apa saja di bagian dalam rumah bekas markas Jepang itu.
Bangunan itu masih asli, tanpa perubahan, dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2016, di halaman 31 dengan judul "Semangat Pemuda yang Tak Pernah Mati".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.