JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang pembacaan pleidoi atau nota pembelaan Jessica Kumala Wongso selaku terdakwa kasus kematian Wayan Mirna Salihin masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (13/10/2016). Kuasa hukum yang membacakan materi pleidoi menyebutkan, keterangan saksi ahli dari pihaknya bisa lebih dipercaya ketimbang ahli dari jaksa penuntut umum.
Salah satu kuasa hukum Jessica, Sodarme Purba, mencontohkan keterangan ahli psikologi dari penuntut umum, Antonia Ratih, dibandingkan dengan ahli psikologi dari pihaknya, Dewi Taviana Walida. Keduanya telah memberi keterangan tentang karakter Jessica.
"Ahli Antonia tidak menganggap penting data-data pendukung yang diperlukan, lalu berani mengambil kesimpulan," kata Sodarme di hadapan majelis hakim.
(Baca: Penjelasan Jessica soal Pertolongan Pertama kepada Mirna)
Sodarme menjelaskan, dalam memberikan pandangan sebagai saksi ahli, Antonia melupakan faktor kebiasaan dalam menentukan apakah seseorang bersikap lazim atau tidak. Selain itu, ada faktor lain yang dianggap turut memengaruhi perilaku seseorang, seperti budaya di tempat orang tersebut tinggal.
"Kita tidak bisa men-judge kebiasaan seseorang dengan kacamata sendiri. Atas dasar itu, keterangan ahli Dewi lebih valid dibandingkan keterangan ahli Antonia," tutur Sodarme.
Selain itu, peran Antonia sebagai psikolog yang memeriksa Jessica juga dipertanyakan. Hal itu dikarenakan tidak ada perbedaan status Antonia, apakah sebagai saksi ahli di pengadilan atau ahli yang melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa.
"Saksi ahli Antonia berperan majemuk sebagai saksi ahli yang memeriksa terdakwa dan saksi ahli di pengadilan. Justru untuk menghindari bias, psikolog harus menghindari peran majemuk seperti itu," ujar Sodarme.
Pembacaan materi pleidoi pihak Jessica telah sampai pada tahap analisa yuridis. Tim kuasa hukum menekankan, tidak ada bukti sama sekali yang mengarah pada perbuatan Jessica menaruh racun sianida ke dalam gelas es kopi vietnam yang diminum Mirna di kafe Olivier, Januari 2016 lalu.