Oleh: Laraswati Ariadne Anwar
Gede Ade Putra Wirawan (25) tampil di panggung Pusat Kebudayaan Amerika Serikat di Jakarta, Kamis (17/11/2016). Penyandang tunarungu itu antusias mengisahkan perjalanannya ke Amerika Serikat pada Juni lalu. Seluruh ”tutur kata” mengalir melalui gerak-gerik jari tangan.
Dibantu seorang penerjemah bahasa isyarat, Ade menegaskan negara adidaya itu tak menyepelekan penyandang disabilitas. Tunarungu pun diberi ruang berpartisipasi dalam pembangunan.
”Salah satunya memberi masukan kritis untuk perumusan kebijakan pemenuhan hak penyandang disabilitas,” katanya.
Ade adalah pendiri Komunitas Tunarungu Bali. Pada Juni 2016, ia bersama 10 pemuda tunarungu berprestasi mengikuti Program Kepemimpinan Pemuda Tunarungu di AS.
Kegiatan tersebut melibatkan Kementerian Sosial, Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, dan Mason Global (lembaga pemrakarsa).
Selama dua bulan di AS, delegasi tersebut sempat berkunjung ke Gedung Putih untuk berdialog dengan penasihat Presiden Barack Obama tentang isu disabilitas. Mereka juga mengenyam perkuliahan di Universitas Gallaudet, perguruan tinggi yang dirancang khusus untuk mahasiswa tunarungu.
Prestasi Ade tidak datang begitu saja. Ia meraihnya melalui perjuangan panjang. Seperti anak-anak dengan disabilitas lain di Indonesia, Ade harus berusaha menggapai kesetaraan. Salah satunya karena kurikulum pendidikan luar biasa belum menekankan pada pemahaman kognitif.
”Perbandingan jenis pelajaran di sekolah luar biasa (SLB) dengan sekolah reguler sangat jauh,” kata Ade di sela-sela diskusi panel tingkat tinggi mengenai ”Masyarakat Inklusif Disabilitas” di Jakarta, Kamis.
Ade menceritakan pengalamannya menempuh pendidikan luar biasa (LB) di ”Pulau Dewata” dari bangku SDLB hingga SMALB. Selama bersekolah, ia selalu menjadi juara. Namun, persepsinya berubah setelah lulus dari SMALB.
”Saya ingin lanjut ke perguruan tinggi. Ketika mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, baru saya menyadari betapa berbedanya pengetahuan yang didapat dari SLB,” tuturnya.
Ia mendapati banyak materi, seperti ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, yang tidak ia pelajari di SLB. Ade terpaksa belajar kilat materi pelajaran yang akan diujikan kepada saudara-saudaranya yang nondisabilitas.
Permasalahan tidak berhenti di situ. Ia juga mengalami kesulitan membaca dan menulis. Hal ini karena siswa tunarungu hanya diajari berbicara dengan memakai bahasa isyarat di SLB. Bahasa tersebut merupakan pengganti bahasa oral. Di dalamnya tidak ada tata bahasa yang serupa dengan bahasa tulis. Misalnya, bentuk aktif dan pasif, imbuhan, tanda baca, serta jenis paragraf jarang dibahas ketika belajar bahasa isyarat. Hal ini membuat kemampuan menulis Ade terbatas.
”Ketika itu, saya menyadari ada yang tidak benar dari sistem pembelajaran bahasa bagi siswa tunarungu. Mestinya kami diperkenalkan dulu kepada bahasa tulisan, baru belajar bahasa isyarat,” ujarnya.
Menurut dia, hal tersebut akan memungkinkan orang-orang tunarungu bisa membaca dan mencerna tulisan-tulisan seperti karya sastra ataupun teks ilmiah.
Ade kemudian diterima di salah satu perguruan tinggi (PT) swasta di Denpasar. Ia menceritakan, ketika harus menjalani ujian wawancara, ia meminta dosen penguji menuliskan pertanyaan di atas secarik kertas. Dosen tersebut memenuhi permintaan Ade. Setelah mengikuti serangkaian ujian, ia dinyatakan lulus sebagai mahasiswa baru.
Tahun 2015, Ade lulus dengan gelar ahli madya manajemen informatika. Ia ingin lanjut ke jenjang strata satu (S-1), tetapi belum menemukan PT yang mau menerima mahasiswa tunarungu. Ia lalu getol mencari beasiswa untuk ke luar negeri. Sembari menunggu jawaban, ia berlatih tari dan tata rias, di samping advokasi hak-hak tunarungu.
Bukan kognitif
Ade tak sendiri. Peneliti Laboratorium Riset Bahasa Isyarat Universitas Indonesia, Adhi Kusuma Bharoto (29), juga bernasib serupa. Adhi pun merasakan hambatan saat bersekolah di SDLB dan SMPLB.
”Materi yang diajarkan kepada siswa hanya kerajinan tangan. Padahal, tidak semua siswa ingin menjadi pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Ada juga yang bercita-cita menjadi teknisi komputer, pengacara, ataupun pilot,” tuturnya.
Tidak puas dengan SLB, Adhi memutuskan melanjutkan pendidikan ke SMA reguler. Di situ, proses belajar tak berpihak padanya. Guru sibuk mencatat materi pelajaran di papan tulis. Ketika menjelaskan pelajaran, guru berjalan-jalan keliling kelas, bahkan membelakangi siswa. Padahal, tunarungu butuh membaca gerak bibir.
”Teman-teman sekelas juga banyak yang sibuk ataupun kesulitan memahami pelajaran. Jadi, mereka jarang bisa dimintai bantuan menjelaskan pelajaran,” ujarnya.
Ketika kuliah pun Adhi hanya bertahan satu tahun di Indonesia karena perguruan tinggi tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat. Untunglah, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke Hongkong, Tiongkok.
Sepulang dari Tiongkok dan menjadi peneliti bahasa isyarat, Adhi belum melihat ada bahasa isyarat baku di Indonesia. Daerah seperti Jakarta, Malang, Pontianak, dan Makassar memiliki bahasa isyarat masing-masing. Ketika diteliti, perbedaan di antara bahasa-bahasa tersebut melebihi 20 persen. Artinya, itu bukan lagi soal dialek, tetapi sudah wujud bahasa tersendiri. Selama belum ada bahasa isyarat baku, akan sulit mengajar tunarungu pelajaran yang sarat konsep dan pemahaman rumit, seperti sains dan sastra.
Shazia Siddiqi (37), pegiat tunarungu dari AS, membagi kisah yang amat berbeda dari apa yang dialami Ade dan Adhi. Di AS, penyandang disabilitas mendapat dukungan penuh dari segala pihak. Semenjak menjalani pendidikan anak usia dini, Shazia sudah diajarkan bahasa isyarat. Pemerintah melalui dinas sosial juga memberi dia layanan kesehatan, terapi bicara, serta membaca dan menulis.
Harap maklum, AS memiliki Undang-Undang Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus yang disahkan tahun 1975. Setiap lembaga pelayanan umum termasuk pendidikan, kesehatan, dan transportasi, wajib menyediakan sarana dan prasarana untuk penyandang disabilitas.
”Apabila sekolah tidak menyediakan penerjemah ataupun kebutuhan untuk anak-anak dengan disabilitas lain, keluarga bisa memperkarakan ke pengadilan,” tuturnya.
Direktur Rehab Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Bambang Sugeng mengatakan, perjuangan di Indonesia masih pada tahap menyamakan visi semua kementerian/lembaga mengenai hak penyandang disabilitas.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Kisah Tunarungu Mengejar Kesetaraan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.