Panasnya pemilihan kepala daerah, khususnya di DKI Jakarta, membuat saya sebagai seorang warga ibu kota sedih sekaligus khawatir.
Ajang pemilihan kepala daerah yang sejatinya merupakan kesempatan warga untuk memilih pemimpin terbaik ternyata tak lebih menjadi ajang saling ejek, saling hina, saling fitnah, dan saling membuat aib.
Apalagi, hal-hal seperti perbedaan agama dan suku yang tak ada kaitannya dengan kualitas pribadi seorang manusia justru menjadi hidangan sehari-hari.
Hiruk pikuk tak bermutu yang mengancam keutuhan bangsa dan kerukunan antarwarga ini mengingatkan perjalanan saya beberapa tahun lalu.
Perjalanan sekitar enam tahun lalu ini, saya lakukan sehari sebelum hari raya Imlek. Saya ingin membagi kisah ini dan semoga menjadi pelajaran bahwa kerukunan dan kedamaian ada di atas segalanya.
*******
Mungkin nama Pulo Geulis tak akan dikenal bagi mereka yang bukan penduduk Bogor atau bagi mereka yang belum pernah berkunjung ke tempat ini.
Apa itu Pulo Geulis?
Pulo Geulis atau dalam bahasa Indonesia berarti Pulau Cantik adalah sebuah pulau –status pulau untuk tempat ini masih diperdebatkan- yang terletak di aliran Sungai Ciliwung yang melintas tak jauh dari Terminal Bus Baranangsiang Bogor.
Pulau ini memiliki luas 1,5 km persegi, lima RT dan satu RW dan dihuni sekitar 2.500 orang penduduk, jadi sangat padat kondisinya.
Tempat yang padat ini didiami sebagian besar suku Sunda, sebagian lainnya suku Tionghoa dan sejumlah suku lain.
Selain berbagai suku, beberapa agama hidup dan berkembang di tempat yang konon adalah tempat peristirahatan para raja Kerajaan Pajajaran nun dahulu kala.
Dan ke tempat inilah saya berkunjung.
*******
Mencari Pulo Geulis di Bogor ternyata sangat mudah.
Usai turun dari bus yang membawa saya dari Jakarta di Terminal Baranangsiang, saya menanyakan lokasi Pulo Geulis ke salah satu orang yang saya temui.
Dan diapun dengan sangat jelas menunjukkan arah Pulo Geulis yang ternyata jaraknya tak sampai 15 menit bisa dicapai dengan berjalan kaki.
Dari ‘daratan’ kota Bogor, untuk mencapai Pulo Geulis saya harus melewati sebuah jembatan yang membentang di atas Sungai Ciliwung yang airnya masih agak lebih bersih ketimbang Sungai Ciliwung di Jakarta.
Di ujung jembatan itu, saya disambut jalan-jalan sempit bak labirin yang membelah pulau kecil itu.
Setelah bertanya-tanya ke beberapa orang penduduk setempat, akhirnya sampailah saya di Wihara Mahabrahma yang konon adalah wihara tertua di kota hujan.
Dengan senang hati, pak Bram menjelaskan sejarah wihara itu yang sudah dihiasi lampion-lampion berwarna merah menjelang malam pergantian tahun baru China itu.
“Tidak ada yang tahu pasti usia wihara ini,” kata Bram.
“Tapi dari ekspedisi Belanda yang dipimpin Abraham van Ribeck tahun 1704, pulau ini sudah ada penduduknya dan klenteng ini sudah berdiri,” tutur Bram.
Pulo Geulis, kata Bram, yang dulu bernama Parakan Baranangsiang konon adalah tempat berlibur keluarga kerajaan Pajajaran.
Kenapa kini namanya menjadi Pulo Geulis?
Bram menjelaskan banyak cerita dan legenda tentang nama Pulo Geulis. Tapi ada satu yang menurutnya cocok dengan kondisi pulau saat ini.
“Geulis dalam bahasa Indonesia berarti cantik. Nah, di Pulo Geulis ini seluruh penduduk geulis atau cantik dalam relasi antarwarga,” ujarnya.
*******
Cantik dalam hubungan antarwarga yang berlatar belakang berbeda. Demikianlah filosofi Bram Abraham soal nama Pulo Geulis.
Seperti halnya di sebagian besar tempat di Indonesia, mayoritas penduduk Pulo Geulis adalah pemeluk Islam.
“Hubungan kami sangat baik dengan penduduk yang beragama Islam,” kata Bram.
“Saat malam Imlek di mana banyak warga Tionghoa datang beribadah, warga setempat membantu pengamanan jalannya ibadah.”
“Bahkan saat perayaan Cap Go Meh, dua minggu setelah Imlek ada perarakan salah satu patung dewa di wihara ini dan warga Muslim banyak yang ikut mengangkut patung dewa itu untuk diarak,” tambah Bram
Cerita Bram ini bukan sekadar bualan. Salah seorang tokoh masyarakat Pulo Geulis Tata Sumiarta membenarkan penjelasan Bram.
“Saya sudah 36 tahun jadi ketua RT di sini. Tapi belum pernah sekalipun ada gesekan antar warga karena alasan agama atau suku,” kata Tata yang usianya sudah lewat 70 tahun saat saya kunjungi enam tahun lalu.
“Bahkan wihara ini sering jadi tempat perayaan keagamaan Islam. Misalnya saat Maulid Nabi, kami kerap menggelar pengajian di sini,” tambah Tata sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Apa kunci kedamaian ini? Sederhana, kata Tata, semua warga saling menghormati kepercayaan masing-masing.
“Saya sendiri Muslim. Warga kami sebagian beribadah di wihara dan ada juga yang Kristen.”
“Tapi kami tidak pernah saling mencela. Kami menghormati kepercayaan kami masing-masing,” jelas dia.
“Maka berulang kali saya bilang kepada orang-orang di luar Pulo Geulis untuk mencontoh kerukunan kami,” ujar Tata.
*******
Pulo Geulis menjadi contoh nyata perbedaan bukan menjadi penghalang manusia untuk hidup damai.
Mereka adalah warga biasa, bukan orang-orang yang merasa paling tahu soal agama atau soal keinginan Tuhan.
Tapi mereka orang-orang yang tahu, bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk saling bertikai apalagi baku bunuh.
Mereka tahu perbedaan justru bisa menjadi sesuatu yang indah jika tidak diributkan.
Meski, perjalanan yang saya tempuh dari Jakarta menuju Pulo Geulis hanya kurang lebih dua jam saja, namun pelajaran yang saya peroleh sangat berharga.
Dan mungkin, hanya mungkin, mereka yang gemar menyerang orang lain yang berbeda keyakinan perlu berkunjung ke Pulo Geulis untuk belajar indahnya kerukunan meski berada dalam perbedaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.