Apa yang ada di benak ketika mendengar Kali Sunter? Sumber penyakit. Cuci kaki saja tidak berani. Setidaknya, itulah jawaban warga sekitar kali yang jauh beda dibandingkan sebelum tahun 1980-an.
Dulu, Sunter tempat kita main, cuci, mandi, dan nangkep ikan," kata Tuin Inang (57), warga asli Pondok Ranggon, Jakarta Timur (Jaktim), "pintu masuk" Kali Sunter ke wilayah Ibu Kota. Hulu kali di wilayah Depok, Jawa Barat.
Sebelum 1980-an, Kali Sunter di daerah tinggalnya sangatlah menghidupi. "Airnya bening, ikannya banyak," ucap Ketua RW 004 Pondok Ranggon itu di rumahnya, Selasa (28/3). Ada ikan baung, mas tyoca, beunteur, lele lokal, dan gabus. "Paling top baung, paling gede," ujarnya.
Mohamad Alimin, warga Pondok Ranggon, menambahkan, dulu ada mujair, tawes, cere, parai, berod, sepat, bethik, dan udang sebesar lobster.
Perubahan Kali Sunter yang jernih hingga coklat itu terjadi pada 1980-an. Tak ada lagi anak-anak mandi di kali itu. Mencuci pakaian, perlengkapan hajatan, dan memandikan ternak pun tak tampak lagi.
Menurut Rahmat (28), warga Pondok Ranggon, selain air kali coklat, pada bebatuan kali saat ini menempel semacam lendir. "Takut juga ada beling," katanya.
Keragaman jenis ikan di Kali Sunter juga berangsur berkurang. Tak ditemukan lagi baung, mas tyoca, dan parai. "Airnya limbah sekarang," ujar Tuin.
Tudingan jatuh pada kian banyaknya perumahan dan beragam pabrik di bantaran kali. Air limbah dibuang ke kali. Penyusuran Kompas, di sejumlah titik, bangunan berimpitan dan membelakangi Sunter. Pipa-pipa mengucurkan limbah ke kali.
Air berwarna coklat hingga Kali Sunter bertemu Kanal Timur di Jaktim. Selain itu, limbah dari aktivitas pemotongan ayam di daerah Cipinang Melayu juga mengalir ke Kali Sunter.
Menghitam
Di ruas Kali Sunter di utara Kanal Timur, air tak lagi berwarna coklat, tetapi kehitaman. Menurut Joko Santang (48), penjaga Pintu Air Outlet Sunter di Kanal Timur, air Kali Sunter di utara Kanal Timur tak lagi dari hulu. Pintu air ditutup hampir setiap waktu untuk mengurangi risiko banjir di utara. Air di ruas Sunter itu hanya bersumber dari air hujan dan limbah cair sekitar.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Teuku Iskandar menyebutkan, hal itu menunjukkan air kali yang menghitam di utara Kanal Timur tidak disebabkan dari hulu. "Artinya, di sana tata air atau drainase belum baik. Tak ada urusan dengan hulu," ujarnya.
Dari ruas itu, warna air Sunter terus kehitaman ke utara. Kian ke hilir, warna air kian pekat.
Di ruas Cipinang Jagal, Pulogadung, Jaktim, sebelum tahun 1990-an, air masih relatif jernih sehingga anak-anak sering main di kali. Saat itu, udang, kepiting, dan banyak ikan hidup di kali tersebut. Di titik itu Kali Sunter bertemu aliran Kali Cipinang.
Abdul Aziz (48), warga asli Cipinang Jagal, menuturkan, ada beberapa jenis limbah yang dibuang ke Sunter, antara lain limbah pabrik di kawasan Cimanggis dan Pulogadung serta limbah domestik rumah tangga. Rata-rata, warga di pinggir kali juga tak punya tangki septik. Air buangan dan kotoran langsung dibuang ke kali. "Kalau jam 12 malam baunya busuk amis, bikin mau muntah. Mirip amis buangan ayam dan ikan," lanjutnya.
Petugas Penanganan Sarana dan Prasarana Umum Kelurahan Cipinang, Jaktim, Suwardi (52), membenarkan soal sampah domestik yang banyak dibuang di kali. Saat membersihkan kali, ia sering menemukan sampah plastik, kasur busa, dan kotoran manusia.
Kualitas air
Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI membuktikan ketidaklayakan air Kali Sunter. Pantauan tahun 2016, mutu air kali kategori pencemaran sedang-berat. "Jika dibandingkan data 2015, kualitasnya masih kategori sama," kata Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Ali Maulana Hakim.
September 2016, air di titik pantau daerah Pondok Ranggon tercemar skala sedang, sedangkan di daerah Lubang Buaya, Kalimalang, Jatinegara Kaum, Koja, dan Yos Sudarso, semuanya kategori berat. Kategori di titik-titik itu sama pada data pantauan September 2015.
Pencemar dominan di Kali Sunter adalah bakteri coliform, termasuk Escherichia coli.
Inilah wajah Kali Sunter yang dulunya sumber kehidupan dan kini sumber penyakit. Pencemaran ini sinyal akan bahaya yang lebih besar: krisis air bersih bagi warga Ibu Kota.
(DIAN DEWI PURNAMASARI/J GALUH BIMANTARA/GESIT ARIYANTO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2017, di halaman 28 dengan judul "Sunter, dari Sumber Hidup ke Penyakit".
Baca juga: Sunter dan Punahnya Kelekatan Warga