Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Bersi di Rusunawa Berkutat pada Kualitas Rendah dan Tarif Mahal

Kompas.com - 07/06/2017, 20:20 WIB

Di Rumah Susun Sederhana Sewa Pesakih, Jakarta Barat, kualitas air sumur dalam mulai membaik selama enam bulan terakhir. Pada masa awal pindah ke rusunawa tersebut, Desember 2014, warga masih mendapatkan air keruh serupa warna teh. Saat digunakan untuk mandi, air tersebut terasa licin seperti minyak dan membuat gatal-gatal.

Menurut Satiri (60), yang tinggal di Blok I lantai 1, warga merasakan kondisi tersebut selama 1,5 tahun. Satiri digusur dari bantaran Kali Apuran, Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat. Baru pada enam bulan terakhir, warga merasakan kualitas air yang lebih bagus. Warna air lebih jernih meski terkadang berbau kaporit.

"Untuk memasak, dua hari sekali kami membeli air leding Rp 2.000 per jeriken atau air galon Rp 5.000," ujar Satiri.

Satiri pernah mencoba menggunakan air keran untuk memasak nasi. Namun, nasi jadi berwarna kuning. Saat direbus, air juga berasa dan tidak enak. Sejak itu, ia tak lagi menggunakan air keran di rusunawa untuk memasak.

Air yang mengalir di 640 unit di rusunawa itu disediakan PAM Jaya. PAM Jaya mengolah air yang berasal dari sumur dalam. Air yang diolah dengan bahan kimia itu lalu dialirkan ke unit-unit rusunawa. Selama tiga tahun terakhir ini, warga belum membayar tarif air atau masih digratiskan. Ke depan, kualitas air di rusunawa diharapkan makin baik, apalagi kalau berbayar.

Satiri, yang tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap, dalam sebulan paling tidak harus mengeluarkan Rp 50.000 untuk membeli air leding dan galon. Biaya itu belum ditambah sewa unit Rp 258.000 per bulan dan biaya listrik. "Kalau bisa, gratis terus, karena kami sudah terbebani harga sewa unit rusunawa dan listrik," katanya.

Biaya jadi masalah

Penghuni Kluster A4 lantai 2 Rusunawa Marunda, Siti Laela (38), mengatakan, ia sudah lebih dari setahun tinggal di sana sejak direlokasi dari kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Ia tinggal bersama suami dan dua anaknya. "Airnya enak, tidak perlu beli air galon (air untuk konsumsi)," ujarnya saat ditemui, Selasa (30/5).

Selain itu, air bersih yang diproduksi oleh PT Aetra Air Jakarta rata-rata mengalir 24 jam. Setiap kali membuka keran, air langsung mengucur. Namun, Siti mengeluhkan tarif air Rp 5.500 per meter kubik yang mesti dibayar setiap bulan. Itu lantaran pemasukan bagi keluarganya berkurang sejak tinggal di Marunda. "Dulu bisa dapat Rp 60.000 per hari, sekarang paling Rp 20.000," katanya.

Sekarang, hanya suaminya yang bekerja serabutan di area Kota Tua, Jakarta Barat. Siti sebelumnya membantu dengan bekerja menyayat daging ikan jadi ikan fillet, tetapi kini menganggur.

Setiap bulan, keluarga Siti membayar sekitar Rp 200.000 untuk biaya sewa unit rusunawa dan konsumsi air. Dengan biaya sewa per bulan Rp 151.000, berarti pengeluaran untuk air Rp 50.000-an per bulan. "Jika bisa, sebulan bayar Rp 10.000 saja airnya," ucap Siti.

Revisi tarif dan aturan

Soal tarif ini, Pemprov DKI sedang menjajaki revisi Pergub tentang Penyesuaian Tarif Otomatis Air Minum untuk penggolongan tarif kelas rusunawa. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI menilai kriteria membagi kelas-kelas rusunawa tidak jelas. Dalam pergub itu, rusunawa dikelompokkan menjadi golongan II (sangat sederhana), IIIA (sederhana), dan IIIB (menengah).

Adapun tarif air dibedakan berdasarkan luasan unit, yaitu 0-10 meter persegi, 10-20 m2, dan lebih dari 20 m2. Akibat tarif di setiap rusun berbeda, DPRKP DKI setiap tahun mengeluarkan subsidi sampai Rp 2 miliar untuk membayar selisih tarif. Untuk rusunawa, tarif ditetapkan Rp 1.050 per m3 dengan pemakaian maksimal 10 m3. Yang memakai lebih dari 10 m3 dikenai tarif normal sesuai penggolongan.

Melihat permasalahan itu, DKI akan membuat aturan pembatasan penggunaan air, khususnya di rusunawa dengan lebih murah. Menurut rencana, tarif air minum di rusunawa akan diseragamkan Rp 1.050 per m3 dengan penggunaan maksimal 10 m3 per bulan.

(DEA/JOG/HLN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2017, di halaman 28 dengan judul "Berkutat pada Kualitas Rendah, Tarif Mahal".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Perjuangkan Peningkatan Upah Buruh, Lia dan Teman-temannya Rela ke Jakarta dari Cimahi

Megapolitan
Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Cerita Suratno, Buruh yang Khawatir Uang Pensiunnya Berkurang karena UU Cipta Kerja

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Tak Melawan Saat Ditangkap Polisi di Palembang

Megapolitan
Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Said Iqbal Minta Prabowo Hapus UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan

Megapolitan
Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Pembunuh Wanita Dalam Koper Sempat Ajak Korban Masuk ke Kamar Hotel di Bandung

Megapolitan
Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Said Iqbal: Upah Buruh di Jakarta yang Ideal Rp 7 Juta Per Bulan

Megapolitan
Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Ikut Demo May Day 2024, Buruh Wanita Rela Panas-panasan demi Memperjuangkan Upah yang Layak

Megapolitan
Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Dua Orang Terluka Imbas Kecelakaan di Tol Jakarta-Cikampek

Megapolitan
Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Korban Kedua yang Tenggelam di Sungai Ciliwung Ditemukan Tewas 1,2 Kilometer dari Lokasi Kejadian

Megapolitan
Rayakan 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Rayakan "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Padati Stadion Madya GBK

Megapolitan
Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Fahira Idris: Gerakan Buruh Terdepan dalam Perjuangkan Isu Lintas Sektoral

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Polisi Tangkap Pembunuh Wanita Dalam Koper di Bekasi

Megapolitan
Hadiri 'May Day Fiesta', Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Hadiri "May Day Fiesta", Massa Buruh Mulai Bergerak Menuju GBK

Megapolitan
Pakai Caping Saat Aksi 'May Day', Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Pakai Caping Saat Aksi "May Day", Pedemo: Buruh seperti Petani, Semua Pasti Butuh Kami...

Megapolitan
Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Penyebab Mobil Terbakar di Tol Japek: Pecah Ban lalu Ditabrak Pikap

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com