“NGEBUT, benjut!”
“Dilarang kencing di sini kecuali anjing!”
“Membuang sampah di sini masuk neraka!”
Pernah lihat pengumuman seperti itu?
Rasanya juga baru kemarin saya mendengar ungkapan “Pemahaman nenek lo!” Apalagi filmnya sedang happening. Ya, kalimat itu diucapkan oleh Ahok yang dianggap ceplas-ceplos dalam mengungkapkan emosinya.
Ada bahaya tersembunyi maupun terang-terangan dari pengumuman atau ucapan yang terkesan kasar dan mengancam seperti itu.
Buktinya ini. Meskipun diidolakan banyak orang, Ahok pun punya haters yang cukup banyak. Pucuk gunung es kebencian inilah yang ditumpahkan keluar ketika ucapan Ahok diprotes dan diunggah ke media sosial yang berujung tragis: masuk penjara.
Kasus yang sama berujung ke pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh Haris Simamora. Berdalih karena sering dihina dan dikata-katai tidak berguna, Haris merencanakan dan melakukan pembunuhan sadis dengan linggis.
Sebenarnya, aksi ancam mengancam ini sudah terjadi sejak dulu. Selama pemerintahan Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang tidak memilih partai tertentu dan memilih partai lain bisa kehilangan pekerjaan, minimal kariernya terhambat.
Bahasa yang mengancam itu sekarang justru dipakai secara masif.
Misalnya saja, ancaman bahwa Indonesia akan bangkrut pada tahun 2030. Jika negara tidak dikelola dengan baik, tempe yang sudah setipis ATM pun bakal tidak terbeli.
Pada Pilgub DKI kemarin, ancamannya lebih nyata. Jika memilih cagub tertentu, jika mati mayatnya tidak disalatkan. Tidakkah ancaman yang mengikutsertakan agama seperti itu mengerikan?
Politik identitas yang mengeksploitasi SARA jelas sangat berbahaya. Orang yang menghimbau masyarakat untuk merajut kembali tenun kebangsaan pun bisa memakai politik identitas ini untuk memenangkan pemilihan atau paling tidak membiarkan hal melenceng ini terjadi.
Bukankah pembiaran pun memiliki konsekuensi serius? Api kecil yang dibiarkan menyala bisa membakar seluruh hutan. Penebangan liar bisa menyebabkan banjir dan tanah longsor.
Bahasa yang tidak santun terbukti bisa berakibat fatal. Di dalam kasus Haris Simamora yang membantai majikan dan keluarganya sendiri berasal dari bahasa kasar yang dia terima.
Ada permainan logika yang menarik untuk diulik. Haris membunuh karena dihina sebagai orang yang tidak berguna. Sebaliknya, ketika dia melakukan pembunuhan karena tersinggung membuktikan bahwa dia benar-benar tidak berguna. Baca juga: Polisi: HS Bunuh Satu Keluarga di Bekasi karena Sering Dimarahi
Dunia psikologi menjulukinya ‘self-fullfilling prophecy’ alias nubuat yang digenapi sendiri.
Di samping pembunuhan fisik, bahasa yang tidak santun bisa membunuh karakter seseorang. Percakapan mesum yang menguar dari wilayah pribadi ke wilayah umum membuat seseorang bisa tersandung hukum.
Percakapan mesum yang dilontarkan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, M, kepada Baiq Nuril Maknun yang dia rekam sebagai sarana jaga-jaga pertahanan diri ternyata jadi membesar setelah diserahkan kepada seseorang dan dilaporkan ke dinas pendidikan.
Meskipun lolos di pengadilan daerah, Baiq Nuril dinyatakan bermasalah di pengadilan tinggi dan dihukum 6 bulan serta membayar denda Rp 500 juta. Baca juga: Saat Nuril Masih Memburu Keadilan (1), Ditunda Beberapa Jam, Kejari Mataram Antar Surat Panggilan
Hukuman yang dirasa tidak adil oleh masyarakat baik di dunia nyata maupun maya—warganet—menuai simpati. Koin Nuril sampai tulisan ini saya buat, sudah tembus Rp 200 juta.
Mengapa aksi ini dengan begitu cepat membesar? Karena hukum dianggap tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sang kepala sekolah yang dianggap ‘modus’ dan ‘menjurus’ ke tindakan asusila lewat percakapan seksnya justru mendapat promosi.
Rakyat sudah semakin cerdas sehingga bisa membedakan mana yang layak dikasihani dan dibantu dan mana yang playing victim.
Mungkin karena terlalu jengkelnya dengan maraknya pemakaian bahasa politik yang mengancam inilah Jokowi sampai menggunakan kata ‘sontoloyo’ dan ‘genderuwo’ yang viral itu.
Jika seseorang tidak bisa menjatuhkan lawan karena kinerja dan rekam jejaknya, bisa saja dia memakai strategi argumentum ad hominem, yaitu mencari—lebih tepatnya mencari-cari—celah atau kesalahan orang itu.
Tudingan sebagai pengikut PKI, keturunan Tionghoa, antek-antek aseng dan plonga-plongo merupakan contoh yang gampang sekali dicari jejak digitalnya.
Lalu, apakah tudingan ‘plonga plongo’ bisa diredakan dengan ‘sontoloyo’ dan ‘genderuwo’?
Tampaknya tidak. Yang terjadi justru perang puisi antara para pendukungnya. Jika di film “Dead Poets Society” John Keating—yang diperankan dengan apik oleh Robin Williams—membuat puisi yang “mati” bagi sebagian murid generasi milenial menjadi “hidup” lewat komunikasi yang kreatif, perang puisi antarpolitisi justru membuat kedua kubu sama-sama mati. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Persis seperti kata-kata Duryudana kepada Bima yang mengalahkannya di Padang Kurusetra: “Apa yang didapat dari kemenangan ini selain tumpukan abu di wajahmu?”
Ketimbang mengharapkan munculnya phoenix dari abu kematiannya sendiri, bukankah lebih baik jika kita mencegahnya lebih dulu lewat pemikiran, sikap, ucapan, dan tindakan yang terpadu?
Daripada memviralkan lagu saling serang bukankah lebih baik kita berdendang:
I'm only one call away
I'll be there to save the day
Superman got nothing on me
I'm only one call away
Memakai analogi Charlie Puth, bangsa ini tidak butuh Superman. Ibu Pertiwi butuh, meminjam istilah Suster Teresa, orang biasa seperti kita yang melakukan pekerjaan yang luar biasa. Itulah call of duty kita sebagai orang Indonesia!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.