JAKARTA, KOMPAS.com - Rumini (44), mantan guru honorer di Sekolah Dasar Negeri Pondok Pucung 02, Tangerang Selatan mengaku dipecat sepihak karena kerap menyurakan dugaan pungutan liar atau pungli yang terjadi di sekolah tersebut.
Pada tanggal 3 Juni 2019, Rumini menerima surat pemecatan yang ditandatangani langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel Taryono dengan nomor 567/2452-Dindikbud.
Rumini menduga, pemecatannya itu adalah akibat sering melayangkan protes kepada pihak sekolah tentang pungutan yang menyusahkan wali murid.
Baca juga: Guru Honorer di Magelang Tidak Lagi Bergaji Rp 300.000 Per Bulan...
Kejadian yang menimpa Rumini pun viral di dunia maya. Saat ditemui di kediamannya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Jumat (28/06/2019), Rumini menjelaskan duduk perkaranya.
Rumini masuk di sekolah tersebut pada tahun 2012. Dia awalnya merupakan guru ekstrakulikuler tari.
Setelah 8 bulan, dia diangkat sebagai guru kesenian merangkap wali kelas.
Setelah menjadi wali kelas, Rumini merasakan kejanggalan dari kebijakan-kebijakan sekolah yang pada akhirnya membebankan wali murid.
Ia mencontohkan, murid harus membeli buku paketnya sendiri dan ada pungutan uang kegiatan kesenian seperti Hari Kartini sebesar Rp 130.000 per siswa per tahun.
Dia juga mengungkapkan adanya uang praktik komputer yang dibebankan kepada siswa sebesar Rp 20.000 per bulan dan iuran instalasi infokus Rp 2 juta per kelas.
Padahal, menurut dia, biaya tersebut sudah termasuk dalam dana biaya operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional sekolah daerah (BOSDA) yang diterima sekolah.
Baca juga: Isteri Guru Honorer yang Ancam Jokowi Sampaikan Maaf
Dia pun mengungkapkan bahwa orangtua murid sering mengeluhkan munculnya biaya-biaya tersebut.
"Orangtua mengeluh ke saya, tetapi pada enggak berani bilang ke sekolah karena pada takut, jadi terima saja," kata Rumini.
Dia pernah mencoba untuk memprotes dan menyampaikan apa yang diberatkan oleh wali murid. Namun, bukannya mendapat jawaban, Rumini malah mendapatkan cemooh dari guru lain.
"Saya malah dibilang terlalu banyak omong, 'Harusnya ibu diam saja' itu kata guru-guru lain, saya melawan, saya mikirin siswa yang tidak mampu," ujar dia.
Akhirnya, pada akhir 2018, Rumini memberanikan diri untuk membuka komputer sekolah agar bisa melihat rencana kegiatan anggaran sekolah (RKAS) dan rencana anggaran belanja sekolah (RAB).
"Saya melihat di anggaran itu sudah ada dari BOS dan BOSDA, dan harusnya tidak dibebankan lagi ke wali murid," ungkapnya.
Setelah mengetahui itu, Rumini terus melayangkan protes kepada sekolah dan meminta transparansi pengeluaran dana BOS.
"Saya kaget ternyata sekolah itu dapat dana BOS Rp 464 juta per tahun, kalau BOSDA itu Rp 870 juta per tahun," kata Rumini.
Namun, akibat sering melakukan protes, dia mengaku malah mendapat intimidasi dari pihak sekolah. Dia mengaku sering mendapat intimidasi dalam bentuk fisik.
"Mereka (para guru) kayak sudah bekerja sama, ada yang bagian dorong saya, nanti saya dikunciin di ruangan, nanti pas keluar ada yang ngejar saya, pokoknya enggak enak," kata dia.
Baca juga: Dituduh Punya Ilmu Hitam, Guru Honorer Dibunuh secara Sadis
Sementara itu, dihubungi terpisah, Taryono mengatakan bahwa Rumini dipecat bukan karena dia vokal dalam membicarakan dugaan pungli di SD tersebut.
"Tentu saja bukan, kita membutuhkan guru yang berpikir kritis dan inovatif," kata dia.
Taryono mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan proses panjang sejak 2018.
"Proses panjang dari tahun 2018, pengaduan oleh Ibu Rumini, investigasi dan klarifikasi, konsolidasi dan pembinaan, pemanggilan, teguran, lalu pemberhentian," ujar Taryono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.