Biaya itu dia bagi dua bersama anak laki-lakinya, masing-masing membayar Rp 500.000.
Dalam kontrakan tersebut, dia tinggal bersama anak-anak dan cucu-cucunya.
“Anak udah pada gede, ada empat, cucu ada sembilan. Tapi, saya (yang) urus anak cucu, yang nyari-nyari makan tuh saya. Ngehidupin mereka buat makannya, juga susunya,” tutur Herman.
Herman mengaku, sebelum istrinya meninggal, dia tidak pernah mencuci dan masak. Namun, kini keadaan mendorongnya untuk bisa mengurus rumah tangga.
Baca juga: Geliat Lapak di Stasiun Gondangdia, Dimsum Bunda Mampu Menjual Seribuan Potong Per Hari
“Bisa dibilang menghidupi tujuh orang (sekarang). Nyuci pakaian, masak. Saya (juga) cuci piring, bebenah, ngepel. Sebelum ditinggalin bini, saya belum pernah nyuci masak gitu,” kata dia.
Saat Kompas.com memantau Herman melakukan pekerjaannya, dia sempat membantu seorang wanita berusia lansia untuk menyeberang.
Sebagai ucapan terima kasih, wanita itu memberi Herman selembar uang Rp 20.000-an.
“Makasih ya, Dik,” begitu kata wanita itu sambil menganggukkan kepalanya kepada Herman.
Pria kelahiran 1958 itu langsung semringah, balas mengangguk kepada sang lansia.
“Hati-hati ya, awas jangan meleng!” seru dia.
Saat kembali ke tempat dia berjaga, Herman menunjukkan pecahan Rp 20.000 itu kepada Kompas.com dengan wajah bangga.
“Nih, Rp 20.000. Buat beli beras, buat beli susu!” kata dia riang.
Di tengah kerasnya Jakarta, ia tetap menemukan orang-orang yang masih peduli pada profesi seperti yang ia lakoni. Meski kerap dipandang remeh karena pekerjaannya, Herman tetap tegar menjalaninya.
Ia tetap menemukan kasih dari para warga yang berkenan berbagi dengan dirinya. Dari penghasilannya itu, ia gunakan juga untuk mengasihi anak dan cucu-cucunya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.