JAKARTA, KOMPAS.com - Gelombang penolakan buruh terhadap wacana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) akan memasuki babak baru. Partai Buruh berencana menggulirkan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, pihaknya masih menunggu itikad baik pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 sebelum melayangkan gugatan.
Dalam aksi unjuk rasa pada Kamis, (6/6/2024), Said Iqbal menyampaikan, akan ada aksi unjuk rasa lanjutan yang lebih masif jika pemerintah tak segera mencabut aturan ini.
Baca juga: Buruh Tolak Tapera, Said Iqbal: DPR Jangan Cuci Tangan
“Bilamana ini tidak dicabut, maka akan dilakukan aksi yang lebih meluas di seluruh Indonesia dan melibatkan komponen masyarakat yang lebih luas,” ujar Said Iqbal di depan Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis.
Selain akan ada gelombak unjuk rasa, kaum buruh juga akan mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung pekan depan.
“Mungkin minggu depan judicial review terhadap PP nomor 21 Tahun 2024 ke Mahkamah Agung,” kata Said Iqbal.
Judical review ini menjadi gugatan kedua yang dilayangkan ke MA, setelah sebelumnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga akan melakukan hal yang sama.
Penolakan Tapera yang masif disuarakan oleh masyarakat luas memutar kembali memori akan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020-2023.
Gelombang demonstrasi mengisi ruang mimbar, baik itu di jalan, maupun melalui mulut para pakar dan kritikus.
Namun, pada akhirnya UU Cipta kerja tetap disahkan pemerintah setelah drama berjilid-jilid di MK.
Sejatinya, UU Ciptaker dan Tapera bukanlah hal baru.
Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019)
Kemudian, setelah proses panjang, RUU Ciptaker disahkan dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 5 Oktober 2020.
Sementara, Tapera sendiri sudah punya UU sendiri pada 2016, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Kemudian, Senin (20/5/2024), Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Baik Omnibus Law maupun Tapera, sama-sama menuai kritik dan penolakan dari masyarakat.
Pasalnya, aturan-aturan yang ada dinilai memberikan kerugian jangka panjang bagi rakyat, terutama kaum pekerja.
Dalam kasus Tapera, masyarakat mengeluhkan bertambahnya total potongan terhadap gaji mereka yang tidak seberapa.
Sebelum ada potongan 2,5-3 persen untuk Tapera, gaji karyawan dan buruh sudah lebih dahulu disisihkan untuk sejumlah hal, antara lain:
Baca juga: Tolak Program Tapera, Partai Buruh: Pemerintah Memang Niatnya Enggak Mau Kasih Rumah
Selain besaran iuran, masyarakat juga mengeluhkan periode menambung yang sangat panjang. Padahal, masih belum jelas realisasi rumah atau proses pencairan dana yang dicanangkan.
Sementara itu, dengan skema iuran Tapera saat ini, tabungan yang dikumpulkan tidak akan cukup bagi masyarakat untuk membeli rumah.
Dengan rata-rata gaji buruh yang tiap bulannya hanya Rp 3,5 juta. Iuran Tapera yang perlu dikumpulkan setiap bulan kurang lebih Rp105.000. Artinya, setiap tahun terkumpul Rp1.260.000,00.
Angka ini dinilai terlalu kecil untuk bisa mendapatkan rumah yang layak. Bahkan, untuk membayar uang muka saja tidak cukup.
Dalam UU Cipta Kerja, terdapat juga sejumlah peraturan yang dinilai merugikan masyarakat dan karyawan untuk jangka panjang.
Salah satunya, pasal 59 yang menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Hal ini menyebabkan, perusahaan dapat menahan status pekerja pada tahap pegawai kontrak untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pasal ini dikeluhkan karena memungkinkan hilangnya sejumlah hak pegawai akibat tidak adanya status karyawan tetap.
Tapera bukan peraturan pertama yang digugat kaum buruh.
UU Cipta Kerja sudah lebih dahulu bolak-balik MK-DPR karena dikebut pengerjaannya.
Istilah inkonstitusional bersyarat pun menyebar luas usai majelis hakim MK mengetok palunya pada 25 November 2021.
Namun, satu tahun kemudian, terbitlah Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).
Kaum buruh tidak tinggal diam dan Perppu ini pun digugat kembali ke MK.
Namun, pada 2 Oktober 2023, majelis hakim yang saat itu dipimpin oleh Anwar Usman menyatakan, Perppu tersebut tidak cacat formil alias gugatan dari kaum buruh ditolak seluruhnya.
Akhir cerita, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 disahkan menjadi UU oleh DPR pada 21 Maret 2023.
Kendati demikian, penolakan terhadap UU Cipta Kerja masih bergema. Termasuk, saat aksi unjuk rasa pada Kamis (6/6/2024).
Baca juga: Partai Buruh Bakal Ajukan Judicial Review terhadap Aturan Tapera
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.