JAKARTA, KOMPAS.com — Penetapan AQJ (13) alias Dul, anak bungsu musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, sebagai tersangka oleh polisi dalam kasus kecelakaan di ruas Tol Jagorawi, saya kira terlalu terburu-buru. Sebab, dalam perspektif anak, polisi tidak memberi peluang dilakukannya restorative justice dalam hal ini.
Restorative justice, atau penyelesaian di luar pengadilan terhadap anak, sangat mungkin dilakukan, dan polisi seharusnya memberi peluang itu atau bahkan memfasilitasinya dengan mengajak pihak keluarga Dul dan keluarga korban duduk bersama.
Bersamaan dengan itu, pengumpulan fakta untuk proses hukum terus dilakukan oleh polisi untuk mengantisipasi jika restorative justice tidak berhasil dilakukan. Peluang restorative justice oleh polisi ini adalah hak diskresi polisi, yakni wewenang polisi menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan akan kebenaran dan keadilan.
Dalam dunia hukum kita dan perpsektif anak, sebenarnya ada peluang di mana kasus ini bisa diselesaikan secara islah atau damai dengan catatan pihak korban mau menerimanya dan memaafkan Dul atas permintaan keluarga atau Dhani. Polisi dengan hak diskresinya harus melihat hal ini.
Saya menilai Dhani sebagai orangtua Dul sudah berupaya untuk mengisi peluang adanya restorative justice dengan menemui keluarga korban. Dengan begitu, Dhani, yang berupaya meminta maaf atas apa yang dilakukan Dul, semestinya dilihat polisi sebagai upaya restorative justice. Bahkan pemberian santunan, sebagai tanda permintaan maaf yang tulus dan perhatian keluarga Dul, bisa mempermulus hal itu.
Restorative justice ini juga diatur dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 jika standar-standarnya terpenuhi, yakni adanya islah antara keluarga korban dan Dul yang dianggap pemicu atau pelaku sekaligus korban.
Setelah Dul ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi, restorative justice masih tetap dilakukan. Syaratnya, keluarga korban sudah memaafkan, tidak menuntut, tidak merasa dirugikan dan menerima semuanya sebagai musibah.
Karenanya, saya menyarankan agar pihak Dhani dan Maia selaku orangtua Dul tetap mendekati keluarga korban agar restorative justice atau penyelesaian perkara di luar pengadilan berhasil. Kalaupun tidak mungkin, diharapkan perkara ini di pengadilan menjadi lebih mudah dan ringan bagi Dul.
Selain itu, selama proses hukum berjalan, saya berharap hak-hak Dul sebagai anak tetap diperhatikan dan ada pendampingan psikologis, baik saat pemeriksaan maupun sidang peradilan anak nantinya.
Mengenai apakah Dhani bisa dijerat polisi menggantikan Dul, saya berpendapat hal itu tidak dapat dilakukan. Kesalahan anak tidak kemudian bisa digantikan orangtua. Sesuai fakta, Dul memang sudah jelas melanggar hukum.
Namun, menurut saya, dalam hal ini sangat mungkin Dhani, selaku ayah Dul, lalai dalam memberikan pendidikan bagi anaknya. Hal itu bisa terbukti jika— dalam pemeriksaan terhadap Dhani dan Dul—Dhani memang kerap menyuruh Dul untuk mengemudikan kendaraan padahal usianya belum cukup untuk itu.
Jika unsur-unsur kelalaian pada Dhani terbukti sesuai Pasal 77 UU Perlindungan Anak No 23/2002, Dhani tetap tidak bisa dipidana atas kecelakaan lalu lintas yang dilakukan Dul. Yang bisa diterapkan pada Dhani ialah Pasal 15 UU Perlindungan Anak No 23/2002 dengan hukuman pemberatan di mana hak asuhnya dicabut sementara atau selamanya melalui keputusan pengadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.